Hari yang kutunggu semakin hari semakin dekat, iya proposal skripsiku
setelah sekian lama berpindah tangan ke pembimbing satuku akhirnya acc juga.
Pembimbing dua sudah acc dan percaya bahwa proposalku sudah layak untuk maju
sidang proposal.
Sudah lama proposalku menginap di tempat pembimbing utamaku (selanjutnya
pembimbing aku disingkat dengan nama dosbing). Dosbing utamaku adalah dosen
senior di kampusku, beliau sangat peduli dengan mahasiswa-mahasiswanya terutama
anak bimbingannya. Karena anak bimbingannya banyak sehingga hanya sedikit yang
beliau ingat. Dan aku termasuk yang terlupakan, jadi tidak heran jika
proposalku sudah hampir satu bulan tidak dikoreksi. Sungguh malang nasib
proposal skripsiku
Proposal yang lama kunanti hasil revisiannya, akhirnya datang juga. Hari
itu (lupa hari apa) aku janjian dengan beliau dan apa hasilnya? Masih sama,
proposalku saya belum dikoreksi. Hal ini wajar mengingat kesibukan beliau. Saya
berusaha untuk memaklumi hal itu, hingga pada saatnya, akhirnya proposalku di
acc. Iya proposalku di acc bukan karena apa, melainkan karena “kasihan”, karena
kasihan? Iya karena sudah lama tidak dikoreksi hingga karena sudah lama
akhirnya saya direstui untuk maju ke sidang proposal.
Proposal sudah di acc, meski karena “kasihan”. Dan setelah beberapa,
hari penguji dan hari sudah ditentukan. Penantian menghadapi sidang proposal
ini semakin hari menjadi semakin dekat. Dan ini menjadi kesalahan terbesar
saya, saya tidak memeriksa kembali proposal saya terutama tata tulis, tata
bahasa dan apakah daftra pustaka sudah lengkap apa belum. Itulah awal dari
malapetaka itu, ketika saya terlalu percaya diri dengan proposalku hingga tak
ada perubahan yang mendasar dalam proposalku.
Hari itu akhirnya datang juga, tepat hari rabu tanggal 22 januari 2014
pukul 09.00 pagi. Saya sengaja datang lebih pagi, agar segala sesuatu sudah
siap termasuk snack, serta perlengkapan buat presentasi proposalku. Diluar
sembari menunggu detik-detik pembantaian itu (lebay banget). Dalam mulutku
selalu berucap “Bahwa saya sudah siap dengan kemungkinan terburuk“ itulah
perkataan sembari menunggu jam ssembilan pagi. Kata itu hanyalah sebagai
penenang diri yang selalu cemas dalam menghadapi masa-masa sulit ini. Padahal
dalam hati saya sudah harap-harap cemas. Malam sebelum sidang proposal aku
chatting dengan temanku yang sudah selesai sidang proposal dan teman yang
kebetulan pengujinya sama, sembari buka-buka proposal untuk belajar presentasi.
Jam 09.00 tepat semua dosen baik pembimbing maupun penguji sudah
terlihat dikampus, aku menjadi rada keder, rasa cemas mulai menghampiri, seakan
seuatu yang buruk akan benar-benar terjadi padaku. Itulah aku, aku adalah orang
yang memiliki sedikit rasa panik dibanding kebanyakan orang. Orang lain mungkin
menganggap hal itu lumrah namun tidak bagiku. Saya adalah orang yang sedikit
peka dengan sekitarnya sehingga untuk cuek dengan lingkungan adalah hal sulit
bagiku. Ini bukanlah sebuah penyakit turunan, namun dalam psikologis bisa
disebabkan oleh pola pengasuhan orang tua atau karena adanya
pengalaman-pengalaman masa lalu. Bisa dikatakan aku gagal menjadi mahasiswa
psikologis, karena tidak mampu mengatasi rasa cemasku sendiri, yang terkadang
mampu mengalahkan akal sehatku. Sehingga saya tidak bisa berpikir secara
jernih.
Presentasi berjalan lancar, kemudian barulah aku harus mendapatkan
counter attack dari para penguji atau reviewer. Sebelum pertanyaan beliau
ungkapkan sudah nampak wajah kekecewaan terhadap tulisanku. Beliau berkata
“Tulisannya jelek baik dari segi tata bahasa maupun tata tulis” hal itu membuat
saya sedikit down. Namun masih bisa saya tersenyum kecil.
Dan pada akhirnya giliran penguji dua, penguji dua yang begitu kritis
telah mampu mengorek habis semua kesalahanku dalam proposal peneilitianku. Jika
dalam futsal saya sudah tidak bisa defend
total dan pertahanku sudah mampu rapuh serta tidak didukung dengan kipper yang
jago, hasilnya kalah telak. Hal itu membuatku semakin down dan rasa cemas mulai
menghampiriku dan memperparah keadaan. Saya sudah tidak bisa berpikir jernih
lagi, dan satu yang membuatku menjadi tambah down, ketika beliau berkata bahwa
penelitianku sebenarnya tidak layak untuk lanjut dan harus mengulang lagi.
Itulah yang hingga saat ini terus mengganggu pikiranku.
Saya menjadi sangat malu serta merasa tidak enak dengan kedua dosbingku
yang selama ini telah berusaha membimbingku. Kedua dosbingku adalah orang yang
mampu membuatku sedikit menjadi lebih tenang, mereka sangat bijak, saya masih
ingat apa yang dikatakan oleh beliau. Kurang lebih begini “Kesalahan yang
terdapat dalam proposal ini, tidak seratus persen salah Riki (saya sendiri),
saya turut andil dalam hal ini, karena beberapa bulan ini saya sedang sibuk”.
Kata itu yang mampu sedikit menaikan morilku.
Hingga detik ini, pada saat saya menulis catatan ini saya masih
merasakan cemas dan terbayang-bayang oleh suasan sidang itu. Ada seuatu yang
mengganjal dalam pikiran saya, namun saya tidak tahu apa yang sebenarnya yang
menjadi pikiran itu. Sahabatku selalu bilang bahwa “masa lalu adalah ilusi”
namun hal itu seakan tidak berlaku pada diriku. Iya, saya akui bahwa saya tidak
bisa lepas dari masa lalu. Mingkin hal ini juga yang membuat saya merasakan
perasaan negatif atau kecemasan.
Kecemasan bisa dialami oleh siapapun, namun dalam menyikapi hal inilah
ada perbedaan antar individu. Dalam ilmu psikologi cemas itu wajar jika dalam
kadar tertentu serta tidak melebihi ambang batas. Karena cemas mampu membuat
orang menjadi berhati-hati dalam segala hal. Namun cemas mampu mengalahkan akal
sehat ketika rasa cemas itu sudah melebihi ambang batas serta individu tersebut
tidak mampu menenangkan diri atau mengelola kecemasan tersebut.
Rasa cemasku sudah mengalahkan akal sehatku. Iya rasa cemas yang
bersumber dari pengalam masa lalu yang terkadang tidak mengenakan. Akan terus
menganggu pikiran kita. Padahal kita tahu bahwa masalalu tidak bisa diubah.
Lantas kenapa hal itu mampu membuat kita cemas? Itulah yang sebenarnya menjadi
renungan bagi diriku sendiri. Masalalu yang terkadang tidak mengenakan ini,
sudah jelas-jelas tidak bisa kita ubah, namun pikiran masih merisaukan
seakan-akan kita masih bisa mengulang waktu kembali.
Dari kejadian ini saya menjadi belajar, bahwa kecemasan yang selama ini
aku alami sebenarnya bisa diminimalisir jika saya mau sedikit meluangkan waktu
sebentar untuk merenungi apa yang sebanarnya terjadi.
“Masa lalu bukanlah
untuk disesali, masalalu adalah pengalaman bagi kita”
Setiap orang pasti memiliki masalalu, namun berbeda dalam menyikapi masa
lalu itu. Ada yang menganggap masa lalu adalah pengalaman sehingga kita harus
belajar dari masa lalu itu dan mengambil hikmah dari kejadian-kejadian di
masalalu. Ada juga yang terbuai dengan masa lalu yang mengakibatkan seseorang
terlalu menyalahkan dirinya sendiri, hingga selalu mengganggu pikirannya,
padahal jika kita mau berpikir sejenak, kita semua tahu bahwa kita tidak bisa
merubah masalalu.
“Menyalahkan masalalu adalah sebuah
tanda bahwa kita tidak melibatkan akal sehat, padahal jika kita mau berpikir
dengan jernih kita semua tahu bahwa kita tidak bisa mengubah masalalu”
Saya jadi ingat ketika sahabat saya mengirim sebuah broadcast dai via
BBM tentang salah satu saksi ketika kecelakaan mobil Tuxuci Dahlan Iskhan yang
menabrak tebing hingga rusak parah dan semua pengemudinya selamat. Dalam kisah
itu menggambarkan bahwa meski dalam keadaan sulit pun Beliau (Dahlan Iskhan)
masih tetap tenang meski beliau sadar bahwa resiko terburuk yang ia hadapi
adalah kematian.
Dalam cerita itu juga mengajarkan kepada saya pribadi bahwa dalam
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi kita harus tetap bersikap tenang,
agar mampu tetap berpikir dengan akal sehat. Tidak terbayang bagaimana
ceritanya jika Dahlan Iskhan dalam situasi sulit beliau malah cemas atau panik,
beliau tidak akan bisa berpikir jernih hingga mengambil keputusan yang cepat
dan tepat.
Akhir catatan bahwa cerita ini sekaligus menyadarkan kepada saya, bahwa
kecemasan atau rasa panik yang ada pada diri saya adalah produk dari pikiran
saya sendiri. Pikiran yang cinderung menyalahkan masalalu dan seakan-akan kita
mampu kembali kemasa lalu kemudian memperbaiki lagi. Semoga ini bukan hanya
berakhir dalam tulisan dan terus bertapa dalam blog saya ini, namun membuat
saya belajar untuk menyikapi masa lalu, iya masa lalu yang sejatinya tak
seorang pun mampu mengubah.
Saya juga harus sadar bahwa dengan beginilah saya harus bisa
mengendalikan rasa cemasku, rasa cemas yang sudah mengalahkan akal sehatku.
Terkadang untuk mengajari seseorang berenang ya dengan menceburkan orang
tersebut ke kolam renang yang dalam sekalipun, karena pelatihnya tahu bahwa dia
masih mampu menyelamatkannya. Sama halnya dengan kehidupan ini, Tuhan
memberikan ujian kepada umatnya karena manusia masih mampu mengatasinya,
walaupaun manusia merasa tidak mampu, hanya menyelamatkan satu manusia dari
segala kesusahan bukan hal yang sulit bagi Allah, apalagi dengan hamba yang
selalu taat beribadah kepadaNya.
Dan sebagai akhir dari akhir catatan ini,
KEEP SPIRIT ( ’;’)9