Jika si kasatria baja hitam memiliki belalang tempur, Valentino Rossi
memiliki Yamaha YZR M1 dan lawannya Rossi si bocah ajaib Marc Marquez dengan
Honda Repsolnya mampu menjadi juara dunia moto GP. Saya juga tidak mau kalah
dengan mereka. Saya memiliki motor jenis Suzuki dengan kekuatan 125 cc serta
dengan slogan “Shogun di lawan” telah mampu meluluhkan hati Ibu untuk segera
memboyong ke rumah dan membayangkan betapa gagahnya si anak lelaki nomor duanya
menunggangi motor baru itu. Si Biru begitu aku memberi nama kepada motor baruku
itu.
Seperti bocah pada umumnya ketika akan tahu dibelikan motor baru, selalu
terbayang-bayang apa saja yang akan dilakukan ketika sudah bisa mengendarai
motor, dalam hati berjanji akan selalu merawat minimal mau mencuci motor baru
hingga akan selalu nampak bersih. Itu dulu, ketika aku tahu akan dibelikan
motor, tapi sekarang? Janji tinggalah janji, seperti halnya dengan para caleg
yang mengumbar janji di depan konstituennya namun lupa akan janjinya ketika
sudah duduk nyaman di kursi dewan. (hehehe namanya juga lagi musim kampanye
jadi apa-apa di srempetin ke hal-hal yang berbau pemilu lah J)
Back to the point, motor baru tak selamanya akan selalu baru, karena
meski barang baru namun sudah di pakai, itu sudah menjadi barang lama. Begitu
juga dengan si biru (nama motorku, karena memang warnanya biru seperti pada
gambar). Awalnya sangat sayang bahkan tidak bisa membiarkan sedetik pun dalam
keadaan kotor, bahkan jika hujan sengaja hanya saya parkirkan di dalam rumah,
maklumlah tidak saya biarkan kehujan hingga berlumur lumpur dan tanah. Tapi itu
dulu, tapi sesudah tragedi kecelakaan tunggal di tikungan itu, yang membuat si
Biru lecet. Awalnya sedikit menyesal, namun perhatian orangtua terhadapku
membuat ia mengesampingkan keadaan si biru. Orangtua yang memang tidak
materialistis, ia tahu bahwa si biru yang membelinya, namun tak jadi apa dengan
kondisi si biru, karena si biru rusak masih bisa diperbaiki, yang jual onderdil
juga banyak, tapi kalo tangan, kaki kamu hilang(patah) itu nggak ada yang jual,
begitu tutur ibuku yang nampak sangat bijak pada saat itu. (Berharap Ibuku baca
tulisan ini hingga aku dapat kenaikan uang jajan bulanan, hehehe).
Si biru itu aneh sekaligus temannya ajaib, meski baru, si biru bau apek
seakan bau ketek, persis bau ketek Ibu sehabis bekerja, jangankan berbahan
bakar pertamax, bensinpun ia enggan nyala. Bahan bakarnya juga dari air kencing
Ibuku. Aneh emang si biru, karena ia bukanlah motor biasa, namun sangat special
(bagiku). Tentu yang saya maksud dengan motor yang bau ketek ibu dan berbahan
bakar air kencing Ibu bukanlah hal yang sesungguhnya, namun saya yakin bahwa
kalian tahu apa yang dimaksud dengan bauk ketek disini dan bahan bakar air
kencing. Namun untuk menghindari salah tafsir yang akan menyesatkan beberapa diantara kalian yang (sempat) membaca
tulisan ini, meski pada akhirnya hanya saya lah penulis sekaligus pembaca atas
tulisan saya sendiri. Bau ketek serta air kencing Ibu yang saya maksud adalah,
bahwa si Biru dibeli oleh ibu atas kerja keras Ibu saya, hingga bercucuran
keringat, serta air kencing Ibu adalah seseuatu yang berasal dari Ibu namun
tidak pernah menuntut apa-apa atas apa yang telah diberikan kepada saya.
Logikanya orang kencing itu ya mengeluarkan kotoran melalui urine, ya sudah
begitu saja, tanpa mengharap air kencing itu akan berubah menjadi garam
kemudian bisa dijual. Artinya Ibu memberikan uang kepada saya, kemudian uangnya
untuk membeli bensin, meski bukan hanya untuk membeli bensin, semua fasilitas
dan kehidupan saya juga berasal dari uang Ibu, layaknya orang yang kencing, ia
mengeluarkan uang namun tidak pernah mengharapkan apa-apa layaknya orang sedang
menabung. Sampai di sini paham? Semoga paham karena jika tidak paham akan saya
paksa paham, karena saya sendiri juga tidak paham apa yang saya tulis J.
Si biru bukanlah milik saya, namun saya menjaganya seolah itu milik
saya, karena bagiku itu adalah amanat dari orang tua, yang harus saya jaga dan
tentunya harus saya rawat. Begitu banyak manfaat yang telah diberikan karena
adanya si biru, minimal tidak pernah pinjam motor sana-sini untuk keperluan
yang mendesak. Saya ingat betul betapa suka dan suka sudah saya lalui bersama
si biru. Si biru sudah seakan menjadi sahabat saya, karena dengan adanya si
biru saya bisa pulang pergi ke sekolah tanpa harus menunggu bus yang terkadang
hanya PHP. Pernah saya pulang sekolah naik bus, karena pada waktu itu si biru
baru dipakai karena kebetulan Simbah masuk rumah sakit dan jika tidak ada motor
nanti malah repot sendiri, dan saya mau mengalah naik bus ke sekolah. Naik bus
ternyata di-PHP, dari pulang sekolah hingga sore hari, bus tidak kunjung
datang, hingga pada akhirnya orang rumah yang menjemput karena sudah sampai
sore tidak pulang-pulang.
Sampai saya lulus saya tidak pernah ganti motor, hingga saat menjadi
mahasiswa, juga tidak pernah ganti motor, meski ganti motor sifatnya hanya
sementara, misal lagi tukeran motor dengan kakak, kemudian pakai motor Om, dan
tidak pernah bertahan lama. Hingga saat ini, saya sudah menjadi mahasiswa tingkat
akhir, tinggal menyelesaikan tugas suci bernama skripsi, saya masih menggunakan
si biru. Pernah terbesit dalam pikiran untuk meng-upgrade motor menjadi yang
lebih muda lah usianya, namun lagi-lagi tidak direstui oleh yang punya duit,
katanya pas awal beli dulu pernah berkata dalam hati, bahwa motor ini tidak
akan saya ganti hingga kamu mampu beli motor sendiri, itu artinya selama saya
masih hidup dibawah ketek orangtua saya masih mengendarai si biru. Namun saya
tahu betul bahwa itu semata-mata agar saya memiliki tujuan hidup, mengupgrade
kendaraan misalnya. Meski sifatnya masih materi namun hal itu agar saya
berpikir bahwa untuk menikmati segala sesuatu ya harus kerja keras, bukan hanya
minta, tapi kalo dikasih ya jangan di tolak, mungkin itu maksudnya.
Saya berpikir bahwa saya tidak akan menjual si biru, bukan berarti saya
tidak bisa move on dengan si biru, si biru adalah saksi bisu perjalanan hidup
dari masa masih jadi ABG labil yang masih duduk di kelas 3 SMP, bisa dibilang
zaman masih belajar ngelap ingus sendiri, hingga kini menginjak usia dewasa
awal. Si biru adalah teman ketika aku harus berjalan melewati lubang jalanan,
panasnya aspal serta beceknya jalanan. Bersama si biru pula lah aku merasakan
sakitnya gesekan aspal, memarnya benturan aspal serta sakitnya ditinggal pacar
*lho.
Suatu saat, saya akan berserita kepada anak saya, bahwa si biru adalah
saksi bahwa kesetianku bukan hanya pada makhluk tuhan bernama wanita yaitu Ibu
dari anak-anaku (EaaaJ), namun juga pada ciptaan manusia (Malah ngegombal).
Aku sadar bahwa zaman semakin maju, perkembangan teknologi seakan tak
bisa dibendung, manusia semakin pintar dalam mengembangkan maupun menciptakan
teknologi baru. Si biru tinggal menunggu waktu akan menjadi barang antik ,
hingga teman-teman si biru tergantikan oleh teknologi kendaraan yang matic
serta menggunakan teknologi terbaru semacam PGMFI yang katanya sangat ramah
lingkungan serta irit bahan bakar.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk si biru yang telah hampir sepuluh
tahun menemaniku selama dalam perjalanan, bersamanya saya lalui perjalanan
meski kehujanan serta kepanasan. Dan tentu tidak lupa kepada Ibuku yang telah
memberiku si Biru. Untuk Ibu, hanya satu kata, You are the best