Sudah lama saya posting di blog pribadi saya ini. Dan hari itu dengan
penuh keisengan saya ingin sesuatu yang baru dalam hal menulis di blog. Saya
putuskan saat itu membuat akun di kompasiana, karena saya lihat di situ banyak
para bloger yang masih aktif, meski kata sahabat saya, bahwa kompasiana sudah
tidak seramai dulu dalam hal pembacanya. Namun kala itu lagi ramai-ramainya
kampanye pileg jadi tulisan mengenai
isu-isu politik sangat mudah di temui. Saya juga sempat menulis tentang
isu politik dengan bahasa yang tidak langsung mengarah, melainkan dengan sebuah
perumpaan, bisa di cari dengan judul “Bukan Dongeng Politik” karena selain saya
posting di kompasiana juga saya posting di akun facebook serta blog saya ini.
Banyak kelebihan sebenarnya dalam kompasiana, namun entah kenapa saya
masih merasa nyaman dengan blogspot ini, karena selain penampilan yang
sederhana, yang pasti tidak akan ada iklan yang terus berseliweran dimana-mana.
Setelah akun kompasiana sudah jadi, tidak langsung saya posting
tulisan-tulisan saya yang sudah ada, karena niat dalam hati hanya
tulisan-tulisan tertentu saja yang akan saya posting di kompasiana.
Dan pada suatu saat, saya membuat puisi yang berdasarkan atas lamunan
sesaat serta kondisi yang ada. Saya membuat puisi tersebut karena saya dalam
keadaan bingung karena tidak ada kerjaan. Setelah puisi jadi, saya kebingungan
untuk menentukan judul apa yang tepat untuk puisi baru saya. Kemudian saya
kirim melalui BBM kepada teman sekaligus sahabat saya, agar dia bisa memberi saya
saran atas judul puisi tersebut. Tidak lama kemudian di membalas bahwa judul
puisi yang dia sarankan adalah “Tipu Muslihat Tempe Kelabui Lalat”. Awalnya
saya menyanggupi untuk menggunakan judul dari saran teman saya tersebut. Dan
ketika akan saya posting di kompasiana, dalam pikiran saya langsung tergerak
untuk mengubah judul puisi saya tersebut. Karena momen politik sedang
moncer-moncernya merajai pemberitaan di seluruh media nasional, saya mengganti
puisi tersebut dengan “Politik Tempe Kelabui Lalat”. Harapan saya mengganti
dengan judul tidak lain hanyalah untuk menarik minat pembaca. Untuk merefresh
lagi puisi saya tersebut, saya akan repost kembali, berikut puisi politik tempe
kelabui lalat
“Politik Tempe Kelabuhi Lalat”
Jaman sudah mulai sedikit edan
Tempe menjadi nampak daging
Daging bisa nampak menjadi tempe
Persepsi masyarakat bisa dibentuk
Opini publik bisa diarahkan
Aku miris melihat semua ini
Banyak lalat yang mengkrubungi daging
Padahal yang dikrubungi adalah tempe
Daging yang sejatinya jauh lebih enak dan bergizi
Seakan nampak hanya sepotong tempe
Banyak lalat menyanjung-nyanjung daging yang sejatinya adalah tempe
Tempe hanya dilirik beberapa lalat, padahal sejatinya itu adalah daging
Semua lalat berkeyakinan bahwa apa ia makan adalah daging
Padahal justru yang banyak dikerubungi adalah tempe
Saya sangat salut kepada beberapa lalat yang tetap mengkrubungi tempe yang sejatinya adalah daging
Mereka tidak terkecoh oleh apapun
Mereka tidak tertarik pada opini serta persepsi kebanyakan lalat
Karena yang ia pegang adalah kebenaran bukan hanya opini apalagi persepsi.
Tempe menjadi nampak daging
Daging bisa nampak menjadi tempe
Persepsi masyarakat bisa dibentuk
Opini publik bisa diarahkan
Aku miris melihat semua ini
Banyak lalat yang mengkrubungi daging
Padahal yang dikrubungi adalah tempe
Daging yang sejatinya jauh lebih enak dan bergizi
Seakan nampak hanya sepotong tempe
Banyak lalat menyanjung-nyanjung daging yang sejatinya adalah tempe
Tempe hanya dilirik beberapa lalat, padahal sejatinya itu adalah daging
Semua lalat berkeyakinan bahwa apa ia makan adalah daging
Padahal justru yang banyak dikerubungi adalah tempe
Saya sangat salut kepada beberapa lalat yang tetap mengkrubungi tempe yang sejatinya adalah daging
Mereka tidak terkecoh oleh apapun
Mereka tidak tertarik pada opini serta persepsi kebanyakan lalat
Karena yang ia pegang adalah kebenaran bukan hanya opini apalagi persepsi.
Oleh Riki Sholikin
Ketika saya sudah memposting, memang tidak banyak yang membaca, namun
bagiku itu tidak apa-apa, karena menulis dan berpuisi bukanlah hal yang menurut
saya untuk menjadikan saya sesuatu, melainkan hanya sekedar agar otak saya
tidak menganggur saja.
Beberapa saat kemudian ada komentar atas puisi saya tersebut, saya
sangat mengapresiasi kepada beliau karena telah sudi untuk membaca puisi saya.
Dan saya tidak akan memberikan atau menyebutkan nama asli yang bersangkutan,
karena saya berusaha untuk menjunjung tinggi etika. Beliau berkomentar tentang
makna yang ada dalam puisi saya. Intinya beliau mengartikan bahwa yang dimaksud
tempe dan daging dalam puisi tersebut mengarah pada figure politik, yang
kebetulan sesuai dengan terkaan beliau bahwa keduanya maju dan bertarung dalam
pilpres mendatang. Figure politik yang beliau maksud adalah Jokowi dan Prabowo.
Beliau menganggap bahwa “Tempe” dalam puisi tersebut mengarah pada Jokowi,
sedangkan “Daging” mengarah pada Prabowo. Entah ini sangat kebetulan ataukah
prediksi beliau mengenai pertarungan pilpres yang sangat moncer. Selain
berkomentar dalam tulisan komentarnya, kurang lebih begini ”bahwa tidak apalah rakyat lebih memilih tempe, jika hanya dengan tempe
saja sudah bisa merasa kenyang, daripada daging selain harganya yang jauh lebih
mahal ada beberapa penyakit yang disebabkan karena makan daging”. Di akhir
kalimat beliau juga tidak menyebutkan bahwa beliau bukanlah pendukung atau
simpatisan Jokowi.
Menanggapi hal tersebut saya langsung mengucapkan banyak terima kasih
kepada beliau yang telah bersedia membaca dan merespon puisi saya tersebut.
Namun apakah maksud dari puisi yang beliau komentarkan tersebut sesuai dengan
apa yang ada di otak saya ketika menulis, kata demi kata kemudian saling
bertemu menjadi sebuah baris yang tersusun dalam sebuah puisi yang bisa
dikatakan sangat sederhana itu. Tentu saja tidak, saya tidak akan memonopoli
makna atas puisi saya tersebut, bahkan untuk puisi-puisi yang lain. Puisi
bukanlah mengenai apa yang benar dan apa yang salah, tapi lebih bagaimana cara manusia
dalam memandang sesuatu. Tentu saya tidak akan memaksa bahwa apa yang saya
lihat harus sama dengan apa yang orang lain lihat. Berpuisi bagi saya bukanlah
mengharuskan bahwa orang lain juga mengartikan
makna puisi harus sesuai dengan apa yang saya maksudkan. Memaknai puisi tidak
seperti halnya dengan ujian yang menganggap salah jika makna puisi tidak sesuai
dengan apa yang ada di dalam otak saya selaku pembuat puisi tersebut.
Setiap manusia memiliki cara pandang yang berbeda-beda dalam melihat
segala sesuatu, hal itu mungkin dipengaruhi oleh beberapa factor, bisa
pengalaman hidup, referensi yang ia baca, kemudian fenomena apa yang terjadi di
lingkungan sekitar, sedangkan dari beberapa factor tersebut tidak semua orang
mengalami hal yang sama. Dengan alasan itu lah saya tidak akan pernah memonopoli
makna atas puisi saya. Saya akan berusaha menyimpan rapat-rapat makna puisi
tersebut. Dan saya juga tidak akan mengatakan apa yang ada di dalam otak saya
pada saat saya menulis puisi tersebut,
karena dengan begitu artinya saya telah membiarkah makna atas puisi
terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, karena makna atas puisi
tidak akan pernah termakan zaman, makna sebuah puisi akan terus mengikuti
zaman.