Hari Pendidikan Nasional
(Sebuah
renungan untuk dunia pendidikan di Indonesia)
Mengutip
perkatan dari Butet (Sentilun) seniman asal jogja yang sangat pandai
bermonolog, dalam acara Mata Najwa, salah satu acara Metro tv yang tayang
setiap hari Rabu pukul 20.05 wib, beliau mengatakan “Bagaimana orang bodoh bisa pinter kalo yang masuk UGM saja adalah
orang-orang pinter”
Memang
begitu kenyataannya, untuk memasuki sekolah unggulan dan perguruan tinggi
negeri saja, salah satu cara penerimaan peserta didik, dipilih dari rangking
yang tertinggi begitu seterusnya hingga mencapai kuota yang diharapkan untuk
peserta didik dalam tahun ajaran yang baru. Alhasil, orang-orang yang dianggap
bodoh karena nilai UN-nya kalah bersaing di singkirkan secara administratif.
Inilah ketika nilai yang tercantum dalam kertas bernama ijazah dianggap sebagai
acuan tingkat kecerdasan seorang anak. Apa yang ini bisa dikatakan adil?
Sekolah
seakan hanya menjadi merk dagangan yang hanya menjual nama untuk mengumpulkan
siswa-siswi terbaik, kemudian setelah lulus dengan hasil yang baik, mengklaim
bahwa itu adalah produk dari sekolah tersebut, tanpa peduli bahwa hasil
tersebut diperoleh dari hail kerja keras siswa dengan mengikuti les di tempat
bimbel, serta doa orangtua tentunya J
Kemudian apa
ini tujuan pendidikan nasional yang katanya “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dab berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab dan kemasyarakat, (dikutip dari
belajarpsikologi.com, berjudul “Tujuan Pendidikan Nasional” Oleh Haryanto,
S.Pd). Akan tetapi kenyataannya? Tujuan
pendidikan nasional yang begitu komplek yang meliputi aspek kognitif, konatif,
afektif serta nilai-nilai religi, tetapi nilai yang berupa angka-angka
merupakan perwujudan dari kognitif yang begitu di dewakan oleh sekolah-sekolah.
Lulusan terbaik adalah lulusan dengan nilai yang paling tinggi, sekolah terbaik
adalah sekolah yang lulus seratus persen ujian nasional serta dengan nilai
rata-rata tertinggi.
Tidaklah
pantas saya yang hanya orang bodoh, yaitu seorang mahasiswa tingkat akhir yang
maih berjuang untuk lulus mengkritik system pendidikan di negeri ini. Saya
hanya berkomentar, tanpa memberikan solusi. Inilah enaknya menjadi penonton,
yang bisa berkomentar sesuka hati. Tapi jika kamu ingin mencetak sejarah, maka
kamu harus menjadi pemain, bukan penonton, karena penonton seperti saya tidak
lebih hanya seorang pecundang yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk untuk
bangsa ini, kecuali hanya sekedar berkomentar di zaman serba bebas ini. Namun
demikian, ijinkan saya untuk menuangkan segala angan saya, meski ini hanya
sekedar berandai-andai. saya
membayangkan bahwa sekolah adalah sebuah rumah sakit, tentu yang dinilai adalah
sehat dan tidaknya pasien setelah berobat kan? Sebelum masuk keruang dokter
akan mendiagnosis apa sebenarnya penyakitnya sehingga dokter akan melakukan
serangkaian treatmen berupa suntikan obat yang sesuai dengan penyakitnya. Bisa
dibayangkan jika salah mendiagnosis, tentu berakibat dokter juga salah dalam pemberian
obat, akibatnya? Bisa jadi pasien tidak sembuh-sembuh, dan kemungkinan terburuk
malah tambah parah karena salah obat. Nah kesimpulannya adalah Rumah sakit yang
baik adalah ketika dokter-dokter mampu mendiagnosis dengan baik sehingga mampu
mengobati atau memberi obat sesuai dengan penyakit yag diderita oleh pasien,
dan tidak berakibat fatal dengan kondisi pasien. Begitu juga dengan sekolah, sekolah yang
terbaik bukanlah sekolah sekolah yang hanya mengumpulkan orang pinter, namun
sekolah yang bisa mendidik siswa-siswanya yang bisa dikatakan dengan kemampuan
rata-rata kemudian menghasilkan lulusan yang terbaik. Itulah sekolah yang
berhasil. Jika dalam ekspreimen, pendidikan adalah serangkaian perlakuan,
sehingga perlakuan itu dianggap berhasil jika skor post test lebih besar dari
pada pre testnya. Mengenai indikatornya, kembali lagi ke tujuan pendidikan
nasional, yaitu pendidikan yang mencakup segala aspek, baik itu aspek kognitif,
afektif, konatif serta nilai-nilai religi. Sistem peringkat mungkin juga sebaiknya
dihapuskan karena hal itu hanya membuat siswa beorientasi pada nilai. Harus
diakui untuk sekolah-sekolah dari SD hingga SMP, system mengarahkan siswa agar
berorientasi pada nilai, hasil itu dikarena segala sesuatu yang menjadikan
acuan adalah nilai, baik itu nilai rapor dan nilai pada selembar kertas bernama
ijazah.
Saya kira
saya cukupkan saja tulisan ini, karena tulisan ini seakan terus menuju kritik
pada system pendidikan di negeri ini, dan sebagai penutup dalam tulisan ini,
hari ini tepat tanggal 2 mei, adalah hari pendidikan nasional. Selamat hari
pendidikan nasional. Semoga system pendidikan nasional terus berbenah ditengah
carut marutnya ujian nasional, laporan bocoran serta kecurangan-kecurangan yang
terjadi selama ujian nasional. Dan yang terakhir buat Adik saya yang besok hari
senin mengikuti ujian nasional tingkat SMP, semoga sukses dan semoga memperoleh
hasil yang terbaik.
Salam.