Hari ini tepat hari ke tiga bulan
ramadhan bagi saya dan sebagian warga Indonesia yang berkeyakinan bahwa awal
ramadhan jatuh pada hari sabtu tanggal 28 Juni 2014. Hari ini saya putuskan
untuk main ke tempat Mbah, sebuah desa di pinggiran kota Sukoharjo. Disitulah
saya menghabiskan sebagian masa kecil saya. Seperti anak desa pada umumnya
bermain adalah suatu kegiatan wajib dalam keseharian. Bahkan tiada hari tanpa
bermain. Sekedar mengingat kembali masa kecil, selalu ada saja permainan yang
akan dimainkan secara bersama-sama. Dan permainan itu jika di amati ternyata
layaknya buah yang ada masa panennya. Misalnya ada musim bermain petak umpet
(bahasa jawa : delikan). musim kelereng, musim bermain gambar, musim bentik,
betengan, ketika liburan dan musim setelah panen kedelai akan ada musim berburu
jangkrik serta ada juga musim layangan. Namun entah jaman seperti itu masih ada
atau tidak, yang jelas akan ada saatnya kita semua rindu dengan permainan masa
kecil kita, ketika teknologi dalam bentuk game virtual belum seperti saat
ini. Bukan berarti game-game modern tidak bermanfaat sama sekali, namun yang
jelas permainan tradisional yang sering dianggap jadul, jauh lebih bermanfaat.
Tentu bermanfaat untuk tumbuh kembang anak, baik itu dari segi motorik atau
fisik, kognitif serta sosio-emosional si anak.
Untuk bulan ramadhan sendiri
karena mayoritas berpuasa maka mainan yang sering dimainkan sejak sehabis
shubuh adalah permainan yang tidak melibatkan aktifitas fisik yang berlebihan,
seperti bermain petasan misalnya. Saya ingat betul ketika saya dan teman-teman
masa kecil saya ketika berangkat sholat shubuh bisa ditebak apa yang ada di
dalam kantong atau saku kami. Iya, tidak lain adalah petasan lengkap dengan
korek api.
Sehabis sholat shubuh biasanya
masih ada kuliah shubuh dan setelah ditutup dengan salam, kami pasukan petasan
langsung berjalan menuju rute yang telah disepakati bersama untuk melakukan
agresi petasan. Begitulah kegiatan saya beserta teman-teman saya lakukan semasa
kecil.
Ngomongin masalah bermain
petasan, saya juga pernah mengalami kecelakaan ketika saya menyalakan petasan
dengan memegang petasan serta melempar ketika api sudah mendekati sumbu, namun
karena lupa melepaskan ketika sumbu sudah dekat. Dan akhirnya petasan meledak
di tangan kanan saya. Ketika meledak ditangan tangan ini rasanya menjadi tremor
dan karena ledakan begitu dekat dengan telinga hingga saya mengalami bindeng
atau budek sebelah serta terus terdengar mendengung. Saat itu juga saya mulai
kapok dengan petasan. Petasan dulu bukan seperti sekarang karena ledakan lebih
besar, tidak seperti sekarang yang kebanyakan yang beredar adalah petasan cabe.
Selain bermain petasan dengan
bahan mercon yang sangat mudah di beli di warung, saya dan teman kecil saya
juga bermain dengan meriam bambu atau meriam jawa (bahasa jawa : long bumbung).
Meski ini adalah permainan masa kecil saya dulu, namun kemaren ketika saya
sedang jalan-jalan dekat rumah saya melihat ada beberapa anak kecil yang sedang
bermain meriam bambu. Ketika saya melihatnya, langsung saya teringat betapa
permainan itu adalah permainan favorit saya dulu selama bulan ramadhan.
Meriam bambu atau long bumbung
dalam bahasa jawanya, adalah permainan saya saat masih kecil. Dari awalnya
belum bisa bikin sendiri hingga bisa membuat sendiri. Membuat meriam bambu bisa
dikatakan mudah, hanya dengan bambu (pring ori bahasa jawanya) dan usahakan
jangan bagian pucuk yang dipakai karena semakin ke bawah maka semakin kuat
meriam bambunya, tentu akan menghasilkan bunyi yang keras dan tahan lama. Bambu
tersebut dipotong kurang lebih 2 meter dan di beri lubang kecil berdiameter 1,5
cm untuk menyalakan api, serta bagian dalam bambu (bagian ros) di lubang namun
bagian bawah jangan dilubang, karena disitulah tempat untuk menampung minyak.
Permainan yang sederhana, hanya
dengan minyak tanah sebagai bahan bakar. Untuk hasil ledakan yang sangat
kencang bisa digunakan karbit. Namun saya sarankan untuk hanya sekedar bermain
cukup dengan minyak tanah saja, karena dengab bahan karbit akan menghasilkan
ledakan yang kencang dan tidak bisa dipungkiri jika cuma asal menaruh karbit
tanpa tahu takaran bisa-bisa bambu bisa pecah terbelah karena ledakan yang
besar. Oleh karena itu untuk bermain dengan karbit baru saya mainkan ketika
saya sudah beranjak dewasa.
Sekedar share permainan semasa
kecil dan mengenang kembali masa kecil ketika bermain adalah kewajiban, karena
bermain bagi anak kecil adalah proses belajar yang tak pernah diajarkan di
bangku sekolah.
Terima kasih