Minggu kemaren Sebanarnya mata saya sudah sayu, ingin sekali saya
memejamkan mata untuk beberapa menit lagi karena malam harinya saya begadang
untuk menghadiri kajian maiyahan di salah satu universitas islam swasta di
Surakarta. Namun saya lebih memilih untuk bangun pagi, karena masih di solo
saya putuskan untuk jalan-jalan di car
free day, bukan untuk olah raga sebenarnya, melainkan untuk jajan cemilan
karena selain bejubel orang yang berolah raga entah itu bersepeda, jogging dan
jalan-jalan, serta beberapa komunitas yang berkumpul, ada juga kumpulan para
pedagang yang menjajakan cemilan. Dan saya lebih memilih mengunjungi pedagang
cemilan tersebut, lumayan buat menganjal perut di pagi hari.
Setelah kenyang dengan cemilan-cemilan tersebut saya akhirnya pulang ke
rumah. Sekitar satu jam lebih baru sampai rumah. Kebetulan di rumah sudah ada
cemilan pisang goreng untuk menami saya minum kopi yang masih panas. Selagi
menikmati kopi hitam dengan ditemani pisang goreng keisenganku mulai muncul,
kali ini pandangan mataku mulai menuju sebuah lemari bekas peninggalan Om saya
sebelum pada akhirnya pindah ke rumahnya sendiri yang sekarang. Sebuah lemari
yang sudah lama jarang dibuka, yang tidak lain adalah lemari peninggalan Om
saya semasa kuliah dulu. Lemari tersebut berisi buku-buku semasa kuliah, serta
beberapa pakaian yang sudah lama tidak terawat.
Dari sekian banyak barang-barang peninggalan Om saya, yang membuat saya
tertarik untuk mengeluarkan dari lemari adalah mesin tik, mesin tik dahulu yang
tidak seperti pada zaman sekarang ini dimana computer dan laptop bisa di cek
dahulu sebelum di print, mesin tik zaman dahulu mengharuskan penggunanya teliti
dalam mengetik huruf demi huruf karena jika terjadi kesalahan tidak ada tombol
delete atau backspace, sehingga harus teliti untuk menghasilkan tulisan yang
rapi tidak ada bekas hapusan dengan menggunakan tipe x. Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana dulu para mahasiswa menghadapi skripsi, harus mengetik
dengan mesin tik, selain itu belum lagi kalo ada revisian yang banyak coretan
dari dosen pembimbing, karena draft yang ia simpan tidak ada soft filenya
melainkan sudah berupa print out, jelas mengharuskan untuk mengetik ulang lagi.
Sudah bisa dipastikan betapa kuatnya jari-jari para mahasiswa dahulu, karena
sudah sering berolahraga dengan mesin tik.
Selain mesin tik, ada satu benda yang menjadi pusat perhatian saya waktu
itu, yaitu sebuah kotak kardus kecil. Ketika saya buka ternyata berisi
surat-surat, Om saya masih menyimpan rapi semua surat-surat zaman dahulu, ada
surat resmi seperti dari instansi tertentu, ada juga surat yang bersifat
pribadi. Tentu yang menarik hati saya adalah surat pribadi. Surat menyurat pada
saat Om saya masih kuliah, kira-kira tahun 90an, masih begitu popular, secara
zaman belum begitu berkembang pesat seperti saat ini, yang mana perkembangan di
bidang informasi sudah berkembang pesat dan serba online. Namun sensasi surat mungkin akan lebih mengena, selain
harus ditulis tangan, sensasi harap-harap cemas menunggu balasan terutama dari
sang kekasih menjadi sensasi tersendiri, hehehe.
Saya sempat membaca beberapa surat, tidak tahu persis apakah berasal
dari pacar atau dari sahabat penanya, dan saya tidak akan bahas itu, karena
kalau Bulek tahu, bisa jadi masalah lagi, hahaha. Dari sekian surat, saya juga
menenukan beberapa foto ketika masih kuliah. Dan saya juga menemukan sebuah
puisi, entah itu karangannya sendiri, atau mengambil dari majalah kala itu.
Sebelum saya tulis di sini sudah saya googling ternyata puisi tersebut belum
ada yang posting. Sebuah puisi untuk sahabatnya, kurang lebih bunyinya seperti
ini:
Suatu saat kawan jadi lawan
Dalam menggapai masa depan
Taklukan
kawan dan godaan
Raihlan
porsi yang paling depan
Dalam
mengejar prestasi……..
Dilihat sekilas menurut saya pribadi puisi tersebut bukanlah puisi
tentang percintaan, namun semacam puisi nasehat kepada para sahabat, bahwa
mungkin sekarang kita berteman, namun dalam prosesnya suatu saat akan jadi
lawan dalam mengejar prestasi dan cita-cita.
Puisi yang simple mengenai hubungan pertemanan dan persahabatan, yang
suatu saat akan menjadi lawan dalam mengejar prestasi dan apa yang
dicita-citakan. Sangat realistis memang, karena tidak bisa dipungkiri bahwa
terkadang yang menjadi lawan kita adalah teman kita sendiri, misalnya ketika
masih duduk dibangku sekolah, ketika system pendidikan kita menuntut untuk
berlomba-lomba agar menjadi jagoan atau menjadi rangking pertama di kelasnya,
kemudian siapa yang menjadi lawan? tentu teman-teman sekelas kita sendiri
bukan? Lebih luas lagi ketika takdir mempertemukan dalam sebuah seleksi pegawai
perusahaan tertentu yang membutuhkan satu posisi jabatan yang kosong, kemudian
secara kebetulan ada sahabat kita semasa kuliah juga ikut seleksi, otomatis
sahabat kita adalah lawan kita bukan?
Tidak bisa dipungkiri memang, terkadang yang menjadi lawan kita bukanlah
orang-orang yang jauh dari kita, terkadang sahabat kita sendiri pun akan
menjadi lawan kita. Namun tidak perlulah saling berambisi menjadi orang yang
melebihi orang lain, artinya tidak usah lah menjadi orang yang unggul dari
manusia lainnya, ketahuilah bahwa manusia adalah makhluk yang penuh kekurangan,
jangan sampai nafsu mengendalikan kita. Dari sinilah saya mulai harus belajar
menerima kekurangan diri, mengutip dari postingan twitter sahabat saya (@johanhariyanto), “Dengan menertawakan kekurangan pada diri sendiri, hidup akan menjadi
bahagia”
Sebagai penutup, tidak perlu panjang lebar, karena saya sudah mulai
ngantuk. Sekian, semoga bermanfaat, jika tidak bermanfaat bagi orang lain,
setidaknya untuk saya sendiri J