Sore itu, ketika Ibuku hendak pulang ke
jambi, tempat ia mangais rejeki demi kehidupanku keluargaku agar berkecukupan.
Tak ada kata apapun yang terucap dalam perpisahan itu. Ketika ibuku hendak
berpamitan kepada Mbah, aku langsung menghampiri dan mencium tangannya sebagai
wujud hormatku kepada Ibu. Ciuman tanganku dibalas dengan ciuman di kedua
pipiku serta sebuah kecupan di keningku. Tak ada perasaan haru kala itu, karena
hal itu sudah terjadi berulang kali setiap tahunnya.
Ibuku tak berpesan apa-apa kepadaku
saat kami akan berpisah untuk beberapa bulan ke depan. Aku juga sudah
memberikan kabar baik pada Ibu, bahwa aku sudah sidang dan tinggal revisi serta
menunggu wisuda. Hanya sebatas kabar baik itu yang bisa aku berikan saat ini.
Untuk mendoakan kesehatan dan keselamatan Ibu, sudah jangan ditanya lagi, hal
itu sudah menjadi doa wajib yang aku panjatkan setelah aku menghadap kepada
Sang Pencipta.
Ibu tak memberikan pesan apapun ketika
berpamitan untuk pulang, hal itu mungkin Ibuku sudah menganggapku sebagai orang
yang dewasa mengingat usiaku saat ini sudah menginjak pada usia ke 24. Ibu
mungkin sudah menganggapku sebagai orang dewasa, yang tahu apa yang harus aku
lakukan dan apa saja yang harus aku hindari.
Aku jadi teringat beberapa hari yang
lalu ketika kami sedang duduk bersama di pagi hari, menikmati kopi dan cemilan.
Ngopi di pagi adalah kebiasaan Ibuku, meski sudah di nasehati untuk mengurangi
kopi namun ia tetap melakukan kebiasaan itu. Ngopi sudah menjadi agenda wajib
setiap pagi, ada yang kurang jika di pagi hari belum menikmati secangkir kopi
hitam. Kata Ibuku, beliau lebih memilih tidak sarapan dari pada harus
meninggalkan kebiasaan ngopinya. Sambil menikmati kopi kami mengobrol banyak
hal dan bercerita tentang orang-orang di sekitar Ibuku di tempat ia bekerja,
yang berperilaku baik serta memperlakukan Ibuku dengan baik, padahal Ibuku
adalah seorang pendatang. Karena itulah Ibuku menyuruhku untuk berbuat baik dan
memperlakukan secara baik kepada orang lain, meski belum kenal sebelumnya.
Alasannya simpel, agar kamu juga diperlakukan dengan baik oleh orang lain,
meski ia belum mengenalku sebelumnya.
Sebelumnya Ibuku juga berkata kepadaku
dan kakakku, agar aku selalu menjaga Mbah, baik Mbah Kakung maupun Mbah Uti
dengan baik, mengingat usia mereka sudah semakin tua, masalah kesehatan sudah
tidak seperti saat mereka masih berusia muda. Ada perasaan haru ketika Ibu
mengatakan hal itu kepadaku. Betapa tidak, dulu ketika aku masih kecil dan
masih usia sekolah, Ibu selalu menitipkanku kepada Mbah sebelum berpamitan,
agar menjaga aku dan kakakku, serta tidak memperlakukan sebagai anak yang
manja, maklum lah, aku dan kakakku adalah cucu kesayangan Mbah, kami berdua
yang sangat dekat daripada cucu-cucu yang lainnya.
Roda kehidupan ternyata berputar begitu
cepat, aku yang dulu sering dititipkan ke Mbah sebelum Ibuku pamit balik. Namun
kini, ketika usiaku sudah beranjak dewasa, justru Ibuku yang berpesan untuk
menjaga Mbah dengan baik, dengan kata lain sekarang aku dan kakakku lah yang
dititipi Mbah. Tak sedikitpun aku merasa terbebani, karena aku tahu betul,
bahwa sudah saatnya aku membalas segala kebaikan yang Mbah lakukan kepada aku
dan kakakku.
Setelah kepergian Ibuku ke tempat
dimana ia merasa nyaman mengais rejeki, akan ada hal yang kurang dalam lingkup
keluargaku. Tak ada lagi orang yang aku cium tangannya ketika aku hendak pergi
ke solo atau sesampai dirumah. Dan hanya ada Mbah utiku di barisan belakang
ketika aku, kakakku dan Mbak Kakung menjalankan Ibadah sholat magrib dan isya
berjamaah di rumah.
Semoga selamat sampai tujuan Ibu, dalam
doaku selalu mendoakan akan kesehatan dan keselamatanmu. Maafkan anakmu
yang belum menjadi anak yang pantas untuk engkau banggakan.
Sukoharjo, 24 Agustus 2014