Sekali-kali aku ingin menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia.
Bukan manusia malah menjadi budak teknologi. Teknologi yang seharusnya
memudahkan segala aktifitas manusia malah seakan menjadi penghalang bagi
manusia itu sendiri. Hampir setiap hari disibukan dengan dunia baru mereka. Dunia
yang sebagian orang sudah mengklaim bahwa dunia baru itu miniatur dunia yang
sebenarnya. Media social, itulah dunia baru itu. Meski keberadaannya dalam
dunia maya, namun media social sudah sangat popular saat ini. Bahkan ketika
bangun pagi, hal pertama kali yang kita lihat adalah notif-notif dalam jejaring
sosial.
Pertemuan yang menjadi aktifitas utama manusia dalam bersosialisasi
dengan sesama seakan tergantikan dengan adanya media sosial. Aku sendiri
terkadang merasa bahwa selama ini menjadi budak dari teknologi. Dalam sebuah
obrolan aku sering menyibukan diriku dengan smartphone daripada memperhatikan
dan menangkap inti dari sebuah percakapan.
Pertemuan menjadi bukan hal yang dipermasalahkan dalam sebuah hubungan.
Padahal adanya media sosial tak lebih hanya sebagai medium atau perantara. Apa
yang ada dalam percakapan dalam sebuah media sosial tak lebih hanya sekedar
teks berbalas teks. Padahal jika hal itu terjadi dalam sebuah pertemuan, setiap
percakapan mengandung sisi emosional yang tak dapat ditemukan dalam percakapan
teks berbalas teks melalui media sosial.
Media social juga menjadi sarana yang membuat manusia berubah total dari
kepribadiannya. Orang yang pemalu mendadak menjadi seorang yang pemberani dengan
kata-kata makian yang berbentuk teks. Cukup dengan menambah emoticon yang pas
untuk menggambarkan betapa dirinya sedang diliputi perasaan emosional.
Orang yang bajingan sekalipun bisa saja menjadi nampak alim dengan
sering memposting kutipan-kutipan ayat suci, padahal kutipan ayat suci bisa
dengan mudah melalui system pencarian seperti google, semudah hanya sekedar
copy paste. Orang yang pendiam bisa saja menjadi seperti orang bijak dengan
kata-kata mutiara penuh makna.
Semua penilaian hanya berdasarkan persepsi kita terhadap barisan teks-teks
dalam postingan media sosial. Lebih parah lagi adalah ketika ada orang yang
menilai seseorang hanya berdasarkan postingan-postingan dalam media sosialnya. Padahal
sudah jelas bahwa kata tak memuat emosi, dan hanya berdasarkan persepsi
masing-masing individu. Sedangkan persepsi itu sendiri dibentuk berdasarkan
pengalaman seseorang dan pengalaman masing-masing orang berbeda-beda.
Betapa tidak mau berpikirnya ia hingga ada-ada saja kasus tentang
penculikan oleh teman dalam media sosialnya. Sebegitu pentingnya jejaring sosial
dalam hidupnya hingga pertemuan dengan teman-teman yang begitu nyata,
terkalahkan dengan teman-teman dalam media sosial yang sejatinya tidak pernah
sekalipun menjumpainya.
Media sosial begitu fenomenal saat ini. orang tidak mempunyai media
social langsung dicap sebagai orang yang tak melek teknologi, padahal orang
yang berkata itu bisa jadi adalah “budak teknologi”. Perlu digaris bawahi bahwa
budak teknologi bukanlah orang yang menguasai teknologi, namun malah di kuasai
oleh teknologi. Teknologi seperti halnya dengan sebuah pisau, ditangan koki
pisau itu bisa saja menjadi peralatan yang mampu memudahkan pekerjaan sebagai
koki, namun ditangan seorang pencuri, pisau malah bisa menjadi senjata untuk
menakuti-nakuti selama mencuri. Semua itu tergantung dari kita sendiri.
Pesan moralnya gunakan medsos yang wajar-wajar lah, saling mengingatkan ya,
hehehehe :-)