Aku adalah seorang pelari marathon. Bersama beberapa
pelari lainya sedang mengikuti sebuah peerlombaan, yang menurutku tak pernah
aku menganggapnya sebagai perlombaan. Memulai perlombaan dengan beberapa orang
yang sudah bersiap di garis star. Dan
ia, iya, ia adalah orang yang awalnya tak pernah aku rencanakan tiba-tiba saja
menarik perhatianku diantara pelari-pelari lainnya
Semua bersama-sama berlari dari start, aku tahu betul,
kala itu ia langsung berlari sprint ketika star baru dimulai, padahal ini
adalah lari marathon, bukanlah lari sprint. Entah apa yang ada dalam pikirannya
hingga ia memilih berlari jauh lebih cepat dari yang lainnya. Pikirku ia akan
sampai di garis finish paling awal. Atau setidaknya lebih dulu sampai pada
garis finish daripada aku. Aku tahu betul tentang kemampuanku, aku tak mungkin
berlari cepat hingga berada di garis depan setelah start baru saja dimulai. Karena
aku tahu, aku akan kehabisan energy dan aku sendiri malah sanksi dengan diriku apakah
bisa sampai garis finish atau tidak, karena terlalu memaksakan. Aku mengikuti
langkahnya dari belakang. Mungkin ia tak pernah smenyadari, bahwa ada seseorang
yang dibelakangnya. Iya, ada aku yang terus mencoba berlari meski dengan
langkah yang sudah tak lagi tegap, agar
bisa terus mengikuti langkah kakinya, namun langkah kakiku tak mampu melewati atau sekedar membersamainya.
Jalur lari masih panjang, ia masih berada jauh didepanku,
dan semakin lama malah jauh dari
penglihatanku. Aku pikir ia akan jauh meninggalkanku dan sampai di finish
terlebih dahulu. Aku terus berlari, namun kini sudah tak ada punggungnya lagi
yang mampu aku lihat ketika aku terus berlari menatap kedepan. Mencoba terus
berlari dan sesekali aku harus berhenti dan hanya melangkah dengan langkah
pendek serta berusaha untuk berjalan hingga garis finish. Entah kapan
sampainya, karena aku sudah tak mungkin untuk menjadi orang pertama yang sampai
digaris finish. Aku hanya ingin terus berlari sampai finish, meski hanya akan
menjadi orang yang terakhir menyentuh garis finish. Yang terpenting bagiku adalah
garis finish, karena dari awal tujuanku adalah garis finish, sedangkan menjadi
orang pertama yang menyentuh garis finish sudah bukan lagi menjadi ambisiku.
Dan dari awal aku juga tidak pernah menganggapnya sebagai perlombaan.
Sekian lama aku berlari, melihat kabar dan kemeriahan
tentang pelari lain yang sudah sampai di garis finish. Mungkin mereka yang
sudah berada di garis finish sudah duduk santai, ada yang focus pada lomba
marathon selanjutnya, ada juga yang sudah lelah berlari dan masih terlalu
nyaman beristirahat.
Aku yang sudah mulai lelah berlari, dan mencoba
bertahan agar bisa sampai di finish, hingga aku lalai, bahwa ia yang selalu aku
lihat didepanku, malah kini tanpa kusadari malah sudah berada dibelakangku.
Entah kenapa ia bisa aku lewati padahal dulu aku tahu betul bahwa kamu mampu
jauh berada di depanku untuk melwati garis finish. Ingin rasanya aku tahu
kenapa ia bisa tertinggal olehku. Namun lagi-lagi aku enggan untuk belari
kebelakang atau sekedar memperlambat langkah. Karena ketika aku melihat ke
belakang dirimu seperti sedang berhenti dan sedikit menghiraukan garis finish.
Entah kenyamanan apa yang membuatnya enggan untuk melanjutkan hingga sampai
finish, mungkin kakimu sudah tak kuat lagi untuk melanjutkan langkah hingga
finish. Harus aku akui, aku juga pernah mengalami apa yang kau alami saat itu.
Ketika berlari dan memutuskan untuk beristirahat, namun malah menjadi lena dan
rasanya-rasanya garis finish yang menjadi tujuan akhir dari marathon ini seakan
kabur dari penglihatan. Namun aku mencoba untuk membuka mata dan meyakinkan
bahwa garis finish sudah dekat dan aku harus segera sampai entah bagaimana pun
caranya, meski hanya dengan langkah yang sangat pelan, setidaknya aku berusaha
untuk mendekati garis finish.
Akhirnya aku sampai pada garis finish, sedangan ia?
Aku tak tahu dimana posisinya saat itu. Setelah melepas lelah, aku mencoba
untuk menengoknya dan berlari ke belakang, aku hanya ingin memastikan bahwa
dirinya masih berusaha untuk berlari hingga garis finish. Dan ketika aku coba
untuk melihat keadaannya, sepertinya ia sedang beristirahat dan menurunkan
langkah kakinya. Aku pikir ia sudah benar-benar lelah. Di saat itulah aku
beranikan diriku untuk memberi semangat kepadanya dan meyakinkan bahwa ia bisa
sampai garis finish.
Entah kehadiran yang kurang tepat hingga niat baikku seakan
ia terjemahkan lain, padahal aku tulus untuk memberi semangat kepadanya, meski
aku masih enggan untuk mengulurkan tanganku untuk menuntun hingga garis finish,
karena aku tahu ia akan menghiraukan uluran tanganku. Saat aku coba mengingatkan
bahwa ia harus terus berlari meski hanya dengan langkah kecil. Namun entah
kenapa ia justru seakan tak pernah menghiraukanku. Iya, harus aku akui aku
salah, aku tidak berusaha untuk memahami kondisinya.
Sekarang aku bukan tidak peduli lagi dengan dirinya,
namun cukuplah aku memperhatikannya dari jauh. Dan sesekali memastikan bahwa
dirinya masih ingin terus berlari atau berjalan hingga garis finish. Senang
ketika dirinya sekarang sudah berusaha terus melangkahkan kaki hingga ke
finish, karena tujuan dari perlombaan ini adalah sampai garis finish.
Sedangkan aku? Tak apalah aku hanya sebagai penonton
kali ini, ikut merayakan setiap pencapaiannya, meski ia tak menyadari
keberadaanku. Itulah mengapa aku tak
pernah menganggap bahwa marathon ini bukanlah sebuah perlombaan karena
perlombaan hanya akan menghasilkan pemenang, yang hanya akan menumbuhkan
kesombongan atas pencapaian diri, bukan kepedulian kepada sesama.