Benalu
Apa yang aku
takutkan kini tejadi juga. Ketakutan yang selama ini hanya tersimpan dalam
pikiranku kini menghampiriku juga. Aku tak perlu mengucapkan selamat datang
kepada apa yang selama ini aku takutkan. Namun sangat disayangkan aku tak bisa
berbuat apa-apa ketika semua yang aku takutkan kini benar-benar harus kuhadapi.
Bagiku permasalahan saat ini sangat pelik untuk aku hadapai seorang diri. Aku bahkan
bukan hanya berhadapan dengan orang terdekatku, namun aku juga harus menghadapi
apa yang ada dalam diriku. Aku tak mau ego yang ada dalam diriku justru menuntunku
pada jurang penyesalan.
Aku tak tahu
harus berbuat apa. Selama ini aku hanya memikirkan tentang ketakutan yang akan
terjadi pada diriku. Dan tidak mencoba berpikir bagaimana, atau apa yang harus
aku lakukan utuk menghadapi ketakutan-ketakutanku itu.
Mungkin
awalnya aku ingin menjadi benalu yang mencoba untuk bermanfaat. Setidaknya tidak
hanya menjadi parasit yang menempel pada sebuah pohon. Pelan-pelan aku mulai
bisa menjalankan peranku sebagai benalu yang terus mencoba untuk bermanfaat
bagi sang pohon.
Menjadi
benalu yang mencoba untuk bermanfaat ternyata bukanlah hal yang mudah. Sebaik apapun,
benalu tetaplah benalu. Benalu hanya menempel pada sebauh batang pohon yang
tidak bisa menyerap makanan kecuali dari batang pohon yang ditempelinya. Namun aku
tetap terus mencoba menjadi benalu yang bermanfaat.
Kejadian yang
terjadi pada malam itu membuatku tak berdaya, aku mulai merasa bahwa aku adalah
benalu, benalu yang seperti halnya sebuah parasit. Aku hanya bisa duduk terdiam
di pojok kamarku. Sambil mencoba untuk terus menahan air mata yang terus
mencoba untuk keluar menetes dari mataku. “Pengecut! Lelaki macam apa aku ini” dalam
hati aku berkata dengan diriku sendiri, seolah mencoba membuatku diriku agar
lebih tegar dan tidak mengeluar tangisan seperti anak kecil. Ketika kucoba
untuk menahan air mataku, justru isak tangis yang kurasakan. Aku tak sanggup
lagi menahan air mataku lagi. Pikirkanku justru berpikir tentang banyak hal. Aku
berpikir tentang diriku ini, orangtuaku, dan kakek-nenekku yang dengan sabar
merawatku hingga aku tumbuh dewasa seperti saat ini. Aku tak mau mereka tau apa
yang aku rasakan pada malam itu. Malam ketika aku begitu susah memejamkan mata
ini untuk segera terlelap tidur. Karena masih begitu sesak di dalam otakku
mengingat kejadian demi kejadian.
Aku terus
berusahan untuk mengontrol emosi dalam diriku. Aku tak ingin ego menguasai diriku.
Aku terus mencoba tetap berpikir rasional ditengah situasi yang tak menentu.
Situasi yang tak biasa aku hadapi. Aku tak ingin mengambil keputusan yang
justru membuat situasi malah menjadi semakin rumit. “Tunggu situasi menjadi
lebih tenang, baru cari solusi untuk mengambil keputusan yang terbaik” dalam
hati aku berkata untuk bisa tetap tenang dalam menghadapi situasi malam itu.
Aku tak tahu
lagi harus berbuat apa. Mungkin ini juga adalah kesalahan terbesar dalam
hidupku. Menjadi benalu yang mencoba terus bermanfaat bagi sang pohon, hingga buah
pun menjadi iri padaku.
Boyolali, 4
Agustus 2015