![]() |
Sumber Gambar; Google |
Beberapa
hari yang lalu saya mendapat sebuah e-mail dari salah satu panitia seleksi
calon pegawai baru, di salah satu perusahaan BUMN. Sebuah perusahaan yang
bergerak di bidang jasa seperti halnya sebuah asuransi yang menjamin
kesejahteraan sosial untuk para pegawai, baik PNS maupun swasta. Saya harus
ikhlas ketika saya harus menerima kenyataan bahwa saya hanya bisa sampai pada
tahap tes online. Meski harus saya akui bahwa saya sangat antusias ketika sudah dinyatakan lolos tahap seleksi
administrasi, dan berhak mengikuti tahap tes lanjutan, yaitu tes online.
Ada beberapa
subtes dalam tes online tersebut, namun waktu yang diberikan sangatlah singkat,
persubtes mungkin hanya 5-6 menit dengan jumlah soal untuk masing-masing sub
tesnya sekitar 40-50 soal. Rasanya saya mau muntah dan membanting laptop saya
ketika saya harus segera menyelasaikan soal-soal yang diberikan ditengah
tekanan waktu yang berjalan begitu sangat cepat. Di tambah lagi dengan koneksi
saya yang sempat terputus membuat saya sedikit ragu, apakah jawaban yang sudah
terjawab sudah tersimpan di server panitia seleksi atau belum. Entah lah,
Kemudian
apakah saya kecewa? Tentu saja tidak, selain karena saya sudah bekerja di salah
satu perusahaan swasta milik orang asing. Dan tentu, kecewa dengan kegagalan
ini juga hanya akan membuat saya semakin terpuruk, dan tidak akan bisa merubah
apa-apa. Selain itu, mendaftar di salah satu perusahaan BUMN adalah salah satu
cara untuk menolak secara halus apa yang sudah ditawarkan kepada saya.
Mendaftarkan
diri di perusahaan BUMN adalah salah satu cara penolakan secara halus? Iya,
karena beberapa hari sebelum saya mendaftarkan diri secara online, ada wacana
yang sempat membuat saya terus kepikiran dan membuat tidur pun jadi tak
nyenyak. Ada sebuah saran atau penawaran ke saya, bahwa ada lowongan PNS di
salah satu instansi atau lembaga pemerintahan, dan saya di tawari dengan
jaminan bisa lolos seleksi. Tentu kalian tahu apa yang saya maksud. Karena
tidak ada makan malam yang gratis di dunia ini, khususnya di Indonesia yang
baru saja merayakan hari jadinya yang ke-70. Dan mendaftarkan diri di
perusahaan BUMN adalah salah satu cara saya untuk menolak secara halus. Saya
tidak ingin membuat seseorang yang peduli dengan masa depanku, seseorang yang
yang begitu mengharapkan kesuksesanku di kemudian hari, menjadi kecewa. Aku
tidak ingin hal itu terjadi.
Dalam sebuah
obrolan malam, ketika itu saya baru saja pulang dari tempat kerja. kira-kira
sekitar pukul setengah dua belas malam. Kebetulan masih ada kerjaan yang belum
selesai, dan kehadiranku seperti sudah ditungu-tunggu untuk membantu dalam
menyesaikan pekerjaannya itu. Sebenarnya saya sudah merasa lelah, namun tidak
tega juga kalau pekerjaannya tidak selesai, karena paginya laporan harus sudah
diserahkan dalam bentuk hard copy.
Ketika
sela-sela membantu mengerjakan laporan itulah saya memberanikan diri untuk
membuka pembicaraan masalah wacana atau penawaran kepada saya itu. Awalnya saya
ragu, namun saya memberanikan diri. Saya menjelaskan bahwa saya tidak setuju,
dan saya juga sudah melakukan banyak pertimbangan. Menurut saya hal itu banyak
mudhorot-nya ketimbang kebaikannya. Mungkin secara subyektif itu sangat baik
bagi saya, namun menurut saya justru itu adalah pembelajaran yang tidak baik
bagi saya. saya lebih suka berjuang dari bawah, dan saya mencoba untuk berpikir
jauh ke depan tentang segala hal yang mungkin akan terjadi. Saya tahu betul
bahwa ini adalah tidak baik, tidak baik bagi saya, tidak baik pula bagi
orang-orang terdekat saya. Saya hanya tidak ingin menjadi korban ambisi, dan
orang-orang disekitar juga terkena dampaknya.
Kami membicarakan
banyak hal pada malam itu, dan semua mendengarkan dan meng-iya-kan apa yang
sampaikan. Setidaknya penolakan yang saya lakukan itu semua sangat mendasar.
Artinya ada pertimbangan-pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Dan saya
merasa sangat lega, ketika semua menjadi sangat terbuka dan mendengarkan apa
yang saya sampaikan. Karena bagaimana pun juga saya lah yang akan menjalaninya.
Kemaren saya
menyampaikan bahwa saya gagal. Tidak ada yang kecewa ketika saya menyampaikan
kabar itu. “Belum rejekinya” Jawaban yang seolah memberikan isyarat agar saya
tidak pernah berhenti untuk mencoba dan berusaha.
Iya, saya
gagal, tapi justru kegagalan ini membuat saya terus belajar, bahwa kita tidak
pernah tau sebelum kita mencobanya. Meski awalnya saya sangat percaya diri bisa
lolos, dan kegagalan ini seperti menyadarkan saya, bahwa percaya diri saja
tidak cukup. Namun juga perlu yang namanya usaha keras dan tentu dengan doa,
karena kita hanya bisa berusaha untuk hasil sudah bukan urusan kita.
Dan kalau
dipikir-pikir posisi saya adalah posisi yang sangat dilemma, di satu sisi saya
sudah mempunyai pekerjaan, di sisi lain saya mencari pekerjaan dengan harapan
memperoleh sesuatu yang lebih dari pekerjaan sekarang, entah itu berupa posisi
atau jabatan, kesejahteraan (termasuk salary), serta kenyamanan tentunya.
Saya seperti
halnya orang yang sudah punya pacar, nyaman dengan pacarnya, namun di dalam
hati sedang merencanakan pengkhianatan, yaitu mencari pasangan yang lebih untuk
dijadikan pasangan hidupnya. Dasar manusia apa saya ini, yang tidak pernah
puas. Duh sepertinya saya harus banyak bersyukur, dan lebih banyak melihat ke
teman-teman seperjuangan yang saat ini masih belum memiliki pekerjaan. Doa saya
untuk kalian, semoga segera mendapatkan pekerjaan yang sesuai apa yang
diharapkan. Terima kasih sudah mengingatkan kepada kami yang tidak pernah puas
ini.