Sesaat sepulang dari kantor, aku
segera mengirim pesan singkat bahwa sore ini aku akan pulang terlambat. Ada
sesuatu yang membuatku untuk tidak segera pulang. Tak seperti biasanya, kali
ini aku enggan untuk segera pulang. Biasanya aku tak sabar untuk segera sampai
rumah dan melepas segala lelah.
Aku hanya ingin menyendiri sebentar,
ada suatu hal yang membuat hati kecil merasa tak nyaman. Aku putuskan untuk
mampir di sebuah masjid yang baru saja di resmikan. Masjid belum 100% jadi,
karena masih ada beberapa bagain bangunan yang belum di rapikan. Langit-langit
yang masih berwarna semen, dinding-dinding yang masih di cat dengan warna
dasar. Namun masjid sudah sering digunakan untuk kegiatan pengajian rutin
setiap malam jumat, serta minggu pagi.
Aku masuk ke dalam masjid. Kondisi
masjid masih sepi, padahal sangat dekat dengan jalan raya, dan ketika waktu
sholat ashar hanya di isi oleh beberapa orang saja.
Setelah selesai sholat, aku tak
segera bergegas untuk pulang. Hinggga satu persatu dari mereka mulai
meninggalkan masjid, aku tetap di dalam masjid. Sembari membuka laptop dan
mencoba menuliskan apa yang aku rasakan sebagai media untuk menyalurkan segala
emosi. Aku tak terbiasa meluapkan emosi dalam diri. Aku lebih suka memendamnya
dan menyalurkan melalui berbagai media lainnya. Hal ini semacam katarsis,
terkadang aku suka menulis, suka melakukan kegiatan-kegiatan seperti olahraga
untuk melepaskan emosi-emosi dalam diri.
Aku masih terduduk di teras masjid,
dan masih (sok) sibuk dengan laptopku. Tiba-tiba terdengar ada suara ringtone
sms dari handphoneku. “Kamu sekarang dimana?” bunyi pesan singkat yang segera
aku balas tentang dimana posisiku sekarang, aku tak mau ada yang khawatir
dengan kondisiku, setidaknya aku masih dalam kondisi waras.
***
Tiba-tiba ada seseorang lelaki paruh
baya yang sedang memarkirkan motornya di dekat teras masjid. Lelaki itu
berjalan mendekatiku dan mengucap salam kepadaku. Aku kemudian menyalaminya,
dan ia pun membalasnya.
“Sedang apa amu disini le? Kenapa kamu tidak segera pulang?”
“aku masih pengen di sini dulu” jawabku dengan nada lirih
“Beginilah kehidupan berumah tangga le, suatu saat kamu juga akan
mengalami hal ini, tak usah kau pikirkan”
Aku hanya menunduk tanpa berani untuk
menyela sedikit pun pembicaraannya
“Dan ya beginilah kehidupan le, kamu harus banyak belajar tentang hidup
ini, karena kehidupan tidak menawarakan kemudahan-kemudhan, termasuk dalam
kehidupan berumah tangga. Akan ada saatnya kamu akan mengalami hal seperti ini.
Kehidupan berumah tangga itu unik, karena wanita sendiri itu juga unik, wanita
meski salah, mereka memiliki gengsi yang tinggi, terkadang ia sadar bahwa ia
bersalah namun ia seakan enggan untuk mengakuinya. Memperdebatkan siapa yang
bersalah adalah hal yang membuang-buang waktu tanpa ada solusi”
Aku masih terdiam dan hanya menjadi
pendengar setia, sesekali aku mengangguk pertanda bahwa apa yang ia ucapkan
adalah benar adanya.
“Dalam
kehidupan berumah tangga pun jangan pernah berpikir bahwa kehidupan akan
berjalan mulus-mulus saja, kamu akan menjumpai badai yang luar biasa besarnya,
di lima hingga sepuluh tahun usia pernikahan. Cobaan itu bisa berasal dari
kondisi ekonomi, dari orang luar maupun dari faktor-faktor lainnya”
“Kamu adalah lelaki, kamu harus selalu kuat, atau setidakya kamu harus
terlihat kuat, meski hatimu sebenarnya teronta-ronta, karena kamu adalah calon
pemimpin rumah tangga. Dan kamu harus siap dengan semua yang akan kamu hadapi”
“Dan yang perlu kamu ketahui le, cobaan bukan hanya berasal dari kondisi
ekonomi keluarga, godaan dari orang ketiga, karena bisa juga bahwa ujian itu
malah datang dari Istrimu, atau anak-anakmu. Dan di saat seperti itulah kamu
harus tahu apa yang harus kamu lakukan. Kamu bukan hanya harus bersabar, tapi
kamu juga harus bisa membimbing anak istrimu. Jadi terus lah perbaiki dirimu
dari sekarang, karena suatu saat kamu berkewajiban untuk membimbing istri dan
ana-anakmu”
“Rapikan semuanya, dan segeralah pulang, kasian orang-orang yang di rumah
jika mengkhawatirkan mu”
Aku pun segera mematikan laptopku dan
merapikannya ke dalam tas. Aku tidak segera pulang kala itu.
“Aku
cari angin dulu” jawabku sebelum ia benar-benar meninggalkanku.