Sejak badai itu menimpa keluarga
kecil kami, sontak kapal ini sudah tak ber-nahkoda lagi. Selalu goyah ketika
diterjang ombak. Disaat kapal mulai goyah, dan seperti hendak karam itulah, ia
segera mengambil alih kendali. Iya, Ibu yang seharusnya fokus untuk mendidik
dengan sentuhan kasih sayang, serta memberikan rasa aman kepada buah hatinya,
namun saat itu seperti tidak ada pilihan lain. Aku lupa berapa usiaku kala itu,
namun seingatku, kala itu aku belum bersekolah. Ibu memilih untuk hidup
merantau untuk mencukupi kebutuhan keluarga kami. Dan disaat itulah aku seperti
tak ber-orangtua.
Beruntung aku masih memiliki kakek dan
nenekku yang mau menampungku. Bisa dibilang, kedua kakek dan nenekku lah yang
berperan sebagai orangtuaku, mereka yang merawatku hingga aku tumbuh besar
hingga sekarang. Aku tidak tahu apa jadinya hidupku tanpa mereka berdua.
Mereka berdua (kakek dan nenekku) adalah
malaikatku, sabarnya seperti tak terbatas. Terutama kakekku! Sedangkan nenekku
yang terkenal galaknya pun, seperti tidak bisa menunjukkan ke-galak-kannya
ketika berhadapan dengan cucu-cucunya, termasuk aku.
Aku teringat kala hidup bersama
dengan kakek-nenekku. Rumah mereka kala itu masih beralaskan tanah, dengan
anyaman bambu sebagai dindingnya. Menderita kah? Tentu saja tidak. Aku seperti
tidak merasa menderita meski secara kasat mata (jika dilihat dengan kaca mata
masa kini) hidup kami begitu menderita. Berlahan tapi pasti rumah penuh
kenangan itu, dibongkar dan secara bertahap terus dirapikan hingga seperti saat
ini. Aku tidak mengatakan bahwa rumah itu sekarang menjadi bagus nan mewah,
namun bisa dibilang masih sederhana, tidak terlalu bagus, juga tidak terlalu
jelek. Seperti falsafah orang jawa, “sik
penting podo kancane” artinya sama dengan yang lain atau tidak boleh
mengungguli orang lain, meski sebenarnya mampu.
Ketika kecil hidupku normal-normal
saja, seperti kebanyakan anak-anak kecil lainnya, meskipun sebenarnya kami
berbeda latarbelakang. Mereka berasal dari keluarga yang (nampak) bahagia
karena keutuhan sebuah rumah tangga. Sedangkan aku dengan keluarga yang seperti
kapal yang sudah tak ber-nahkoda. Iri? Aku masih manusia biasa, terkadang sifat
iri itu muncul, ketika aku melihat Pak Dhe-ku dan Om-ku sedang memanjakan
anak-anaknya. “Andai dulu aku seperti mereka” mungkin begitu lah batinku ketika
melihat sebuah keluarga yang (nampak) untuh dan bahagia.
Ketika kecil aku pernah sakit, dan
kakekku yang begitu menyayangiku itu, langsung membawaku ke dokter di puskesmas
yang terletak di balai desa. Jarak antara rumah kami dan puskesmas di balai
desa kurang lebih 2 Km. Hingga saat ini, aku masih ingat, ketika kakekku menggendongku
dengan berjalan kaki untuk mengantarkku berobat ke Puskesmas. Selama di
perjalanan pun kakek malah sering bercerita serta nembang dengan lagu-lagu jawa.
Kakekku tidak bisa naik sepeda,
jadilah ia lebih suka kemana-mana dengan jalan kaki, entah pergi ke sawah, ke
tempat kerabat-kerabatnya atau sekedar liat-liat di pasar. Aku selalu ingat
dengan masa-masa itu.
Saat ini kakekku masih diberi
kesehatan, meski dulu sempat harus bolak-balik opname di rumah sakit dan harus transfusi
darah. Pernah juga sakit infeksi di salah satu matanya, dan dokter menyarankan agar
segera mengambilkan tindakan dengan mengangkat bola matanya, dan kini kakekku
hidup dengan satu penglihatan.
Semenjak itu, kakek sudah jarang
sakit, jika sakit pun hanya sekedar masuk angin dan cukup berobat di bidan
dekat rumah kami. Terkadang aku juga sering disuruh untuk mengantar ke rumah
kerabat, atau pergi untuk lihat-lihat sawah. Iya, semenjak dulu sering opname,
sawahnya sudah digarap oleh orang lain dengan sistem bagi hasil, jadilah
kakekku hanya di rumah saja, dan ikut merasakan panen ketika musim panen.
Meski sekarang sudah tua, aku
sekalipun tidak melarang kakekku untuk melakukan hal-hal yang menurut orang
lain akan menggiring rasa iba. Kakekku masih suka menggarap kebun halamannya,
entah itu menanam pisang, kacang, serta ubi. Ia juga sering membuat kayu bakar
yang digunakan untuk memasak nenekku. Mereka masih menggunakan kayu bakar
hingga sekarang, meski anakknya sudah membelikan kompor gas, namun nenekku
lebih suka dengan kayu bakar. Dan karena itu pula, aku merasa harus mencicipi
masakan nenekku ketika di rumah, karena aku tahu proses sebelum semua makanan
itu berada di balik tudung saji.
Nenekku juga tidak kalah sayangnya
dengan aku dan cucu-cucunya. Dia seperti mempunyai sebuah kurikulum sendiri
dalam hal mendidik anak. Aku yang dididik dari kecil pun awal-awalnya merasa
seperti dikurung dalam kerangkeng besi. Aku sering dilarang keluar rumah pada
malam hari, disaat teman-temanku sedang mencari jangkrik di sawah pada malam hari.
Dan hanya boleh keluar malam ketika mala minggu atau pas libur sekolah. Apalagi
dalam hal keuangan, nenekku yang kala itu memegang kendali penuh terhadap
pengeluaranku sangat susah ketika diminta uang jajan. Namun jika urusan biaya
sekolah, ia tidak pernah telat, padahal sebelumnya ia berkata tidak mempunyai
uang.
Namun segala hal yang aku anggap teralis
besi itu, berangsur-angsur mulai hilang. Aku masih ingat ketika aku sudah masuk
sekolah SMA, nenekku yang begitu keras itu, seperti sudah memberikan kepercayan
penuh kepadaku terhadap hal-hal yang kulakukan. Aku dipercaya memegang sendiri
uang kiriman dari Ibuku. Keluar malam pun tidak jadi soal asal aku bertanggung
jawab terhadap sekolahku. Aku bisa dengan mudah meminta uang jika aku
benar-benar sedang tak punya uang. Karena kepercayaan yang diberikan kepadaku
itulah yang membuatku tak pernah nggabrul
dan membelokan uang sekolah, kemudian bolos hanya untuk sekedar main PS.
Aku seperti dididik agar aku menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap
diriku sendiri. Hidup di lingkungan yang kebanyakan adalah perokok dan sering
mabuk-mabukan, namun dengan sendirinya aku tak pernah melakukan hal itu, meski
dulu rumahku sering dijadikan tempat nongkrong. Sering kali tempat sampahku
penuh dengan puntung rokok, sedangkan botol-botol sudah mereka buang.
Kakek dan nenekku adalah malaikatku.
Ia adalah penolongku disaat perahu kami hampir karam. Dan tentu juga Ibuku, ia
yang kini lebih memilih hidup merantau untuk memastikan perahu kami tidak
karam, dan agar kami terus menjaga asa.
Ibuku bukanlah orang yang pandai.
Namun ia hidup dengan kesederhanaan dan kepolosan. Ia pandai mencari uang,
namun ia tak pandai dalam membelanjakan uang. Karena ia lebih mempercayakan uangnya
kepada anaknya. Entah itu aku sendiri atau kakakku. Aku dan kakakku lahir dari
kurikulum nenekku dalam hal mendidik anak. Aku dan kakakku tidak begitu silau
atau kemecer ketika memegang uang
banyak (menurutku dan kakakku yang saat itu belum bekerja). Terkadang aku juga
bingung sendiri, kenapa uang yang aku simpan itu tidak aku gunakan untuk membeli
handphone terbaru saja, dan bisa aku pamerkan kepada teman-temanku. Sekali
lagi, sikap tanggung jawab dan menjaga kepercayaan itu begitu terpatri dalam
diriku.
Ibuku lebih suka hidup di perantauan,
yaitu di Kerinci, Jambi. Pernah aku memiliki rencana untuk menyuruh Ibu
meninggalkan jambi dan hidup bersama kakek dan nenekku serta Bulek, di rumah
Sukoharjo. Namun ibuku yang terbiasa bekerja itu pun seperti tidak bisa hanya
duduk diam di rumah tanpa penghasilan. Inilah kenapa ia merasa tertekan ketika
berlama-lama di rumah. Aku menjadi orang yang sangat bersalah ketika aku begitu
memaksanya untuk di rumah saja. Ibuku menjadi seperti terpenjara dalam
kenyamanan semu. Secara kasat mata ia terlihat nyaman, namun batinnya begitu
tersiksa, Ia seperti terpenjara, tidak bebas. Dan disaat hatinya berontak ingin
merantau lagi, lingkungan sekitar malah membuatnya ragu akan kemauannya. Ibuku
adalah orang sulit dalam pengambilan keputusan, mungkin itu adalah produk gagal
ketika masih dalam tahap trial and error
dalam penyusunan kurikulum dalam mendidik anak versi nenekku. Dan ibuku menjadi
korbannya.
Ibuku pernah merasa tertekan, dan di
saat seperti itulah, sebagai anak aku harus segera mengambil keputusan. Aku
memutuskan untuk menyakinkan bahwa Ibuku akan baik-baik saja untuk merantau
lagi, aku harus menyakinkan pula nenekku agar rilo melepas anakknya (yaitu ibuku) merantau lagi. Kala itu aku
dianggap anak tak tau diri oleh orang-orang disekitarku, karena menyuruh ibunya
sendiri hidup merantau, padahal aku juga sudah bekerja. persetan dengan kata
orang kala itu, aku tetap pada keyakinanku untuk menyelamatkan kejiwaan ibuku
yang sudah mulai tertekan. Agar semua bisa menerima, aku dan kakakku mengambil
keputusan. Ibuku tetap merantau dengan ditemani kakakku selama beberapa minggu.
Selang beberapa minggu aku menelpon
ibuku. Dan aku merasa sangat bersyukur bahwa ibuku merasa bahagia ketika bisa
bekerja lagi. Aku begitu senang ketika ia berbicara dengan riang gembira tanpa
tekanan. Aku hanya bisa mengingatkan agar jangan lupa untuk beristirahat ketika
tubuhnya sudah mulai lelah.
Aku suka dengan kesederhanaan ibuku.
Ia mampu menyekolahkan anaknya hingga menjadi sarjana, dan tak pernah sekali
pun ia mengumbar dan membicarakan anaknya dihadapan teman-temannya. Ibuku juga
tidak pernah mengeluh menjalani takdirnya. Baginya, bersyukur adalah cara
terbaik menjalani takdir.
Selain kakek, nenek dan ibuku, Pak
Dhe serta Om-ku adalah malaikat lainnya di sekitarku. Pak dhe dan Om-ku adalah dua
pribadi yang berbeda. Bagiku Pak dhe adalah motivator tanpa bualan. Pak dhe
adalah orang yang pendiam, dibalik sikap diamnya menyimpan banyak kesabaran.
Jika beban hidupnya dipindahkan kepadaku, aku yakin pasti langsung njeglek. Ia adalah figure dari kesabaran
yang tanpa batas, jika dikira sabar sudah mulai tipis, Pak dhe akan lebih
banyak diam dan menghindar.
Pak dhe tetap lah manusia biasa,
namun aku berusaha melihat dan mengambil pelajaran dari sisi positifnya saja. Sebelum
menikah Pak dhe sudah mempunyai rumah, dan itu adalah salah satu yang ingin aku
tiru. Pak dhe sering memberi contoh pada tindakan daripada hanya sekedar
omongan. Dalam prinsipnya ia lebih memilih ditipu daripada menipu. Entah sudah
berapa banyak orang yang berhutang namun tidak satu pun yang membayarnya, dan
pak dhe tidak pernah menagihnya, ia lebih suka mengikhlaskannya.
Berbeda dengan Pak dhe, Om-ku adalah
segala hal kebalikan dari Pak dhe, misalya ia lebih banyak memberi nasehat
dengan omongan-omongan, tentu ini bukan hanya sekedar omongan tanpa tindakan,
karena biasanya nasehat itu berdasarkan pengalaman hidupnya. Om-ku adalah orang
yang sangat peduli dengan masa depanku. Tidak heran jika anaknya sendiri bisa
merasa iri dengan sikap bapaknya terhadapku.
Selain itu, Om-ku adalah mentor dalam
kehidupanku. Bisa dibilang diantara keponakan-keponakannya, aku mungkin yang
paling disayang. Aku sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga kecilnya.
Ketika masih kecil ia sering menasehatiku, memberi pandangan-pandangan tentang
kehidupan, hingga aku sampai lulus kuliah. Kemudian semakin bertambah dewasa
aku dan Om-ku sudah layaknya teman yang sedang mengobrol untuk sekedar bertukar
pikiran. Karena tidak semua hal, kami memiliki padangan yang sama, dan dengan
saling bertukar pikiran kami jadi saling terbuka tentang banyak hal.
Aku sangat bersyukur, ketika sebuah
perahu kehilangan nahkoda, Tuhan mengirimkan awak-awak kapal yang bisa
mengatasi badai meski kapal itu sudah tak bernahkoda. Bersyukur masih ada
malaikat-malaikat di sekitarku, kakek dan nenekku yang begitu sabar merawat dan
mendidikku tentang sebuah kepercayaan, kemudian Pak dhe mengajariku tentang
kesabaran dan sebuah sikap dalam diamnya, serta Om-ku yang begitu peduli dengan
masa depanku. Aku tidak tahu harus membalas kalian semua, kecuali sebatas doa,
agar kita semua diberi kesehatan dan senantiasa berada di bawah lindunganNya.