Jumat kemarin, setelah pulang kerja,
aku menyempatkan untuk menjenguk rekan kerjaku yang masih dirawat di salah satu
rumah sakit yang terletak di Kragilan, Mojosongo, Boyolai. Karena setiap sore
sering hujan, baru jumat kemarin aku sempat untuk menjenguknya.
Rekan kerjaku yang sedang dirawat di
rumah sakit tersebut, dulu pernah menjadi staff
administrasi HR, namun karena alasan performance yang masih dibilang kurang
dalam pengelolaan data, dia harus dimutasi ke bagian lain, namun masih dalam
satu HR Department. Dia kini under GA, yaitu menjadi Receptionist di kantor tempatku bekerja.
Kami bisa dibilang lumayan akrab,
karena hampir setiap hari bertemu. Orang yang kocak, namun lebih tepat disebut “gila” itu, beberapa hari ini
sedang dirawat di rumah sakit. Tanpa dia, office
nampak sepi. Dan sekarang aku menyadari, bahwa “orang gila” sangat dibutuhkan,
agar kita tetap dalam kondisi waras di tengah rutinitas bernama pekerjaan.
Dan jujur, aku juga pernah
memarahinya ketika ia tidak segera menjalankan instruksiku mengenai data
karyawan. Kala itu, aku mengecek absensi karyawan, dan sesuai aturan, jika ada
karyawan tidak masuk kerja 5 kali berturut-turut tanpa keterangan, maka sudah
dianggap keluar. Jadi orang-orang yang sudah dianggap keluar tersebut harus
dikeluarkan dari database karyawan.
Aku menyuruhnya segera mengeluarkan dari database,
karena hal itu menjadi bagian laporan daily
attendance yang harus dikirim setiap harinya.
Namun selang beberapa saat, aku
mengecek, ternyata database karyawan
belum di-update juga. Sepertinya aku
sudah kehilangan sedikit kesabaranku, dan aku langsung meng-update sendiri database tersebut,
kemudian aku menasehatinya dengan nada agak tinggi agar selalu meng-update database karyawan.
Meski pernah aku nasehati (dengan
nada tinggi), kami tetap harus saling support
mengingat kala itu kami satu tim. Pernah suatu ketika, kala itu dalam laporan daily attendance yang akan dikirim
terjadi perbedaan atau selisih data, antara laporan daily attendance dan database
karyawan, dia pun sepertinya sudah pasrah karena masih terjadi selisih satu
karyawan. Aku yang merasa kasihan pun, membantunya dengan suka rela, karena
bagaimana pun juga kami satu tim. Meski aku dengan suka rela membantunya, aku
kala itu sedikit bercanda dengannya “Oke tak bantu, tapi buatin aku kopi, ya? Soale aku nggak iso mikir nek durung ngopi” Dan ketika sudah fix, tidak ada lagi selisih antara data
di laporan daily attendance dan database, dia pun dengan polosnya
membawakan secangkir kopi untukku.
***
Sampai di rumah sakit, aku segera
menuju ke ruangan tempat ia dirawat. Waktu aku masuk ke dalam ruangan, nampak
ada salah satu keluarga yang menunggunya, sedangkan dia nampak baru istirahat.
Kemudian dia dibangunkan ketika aku datang, awalnya aku hendak langsung pamit,
karena takut menganggu istirahatnya, namun sepertinya dia sudah terlanjur
dibangunkan.
Ketika ia sudah mulai sadar penuh,
dia malah bilang kepadaku “Pak, aku sudah hampir seminggu ini nggak mandi wie, bau nggak, Pak?” aku
yang baru datang dan langsung menerima kabar itu langsung mengernyitkan kening.
Dan lagi-lagi ia masih bisa bercanda
meski ketika ia tertawa ia merasa sedikit sakit dibagian bekas operasi “Aku
sejak hari senin belum boleh makan lho, Pak. Jadi habis dari sini kayake aku
bertambah ilmu kebatinan, dan terus besok aku kalau sudah masuk kerja aku
langsung mau nimbang berat badan di poliklinik, aku kan sekarang diet”
Aku bertanya kepadanya tentang sakit
apa yang sedang diderita hingga ia harus di rawat di rumah sakit “Sakit apa?”
tanyaku. “Sakit anu, pak” Ia seperti sungkan menjelaskan penyakitnya, namun
kemudian ia menjelaskan lagi kepadaku “Ada benjolan di, maaf, di anus, dan rasa
nyeri pada benjolan kecil itu sampai aku demam, dan dua hari aku nggak bisa
tidur, dan kalau tidur pun harus miring atau tengkurap, dan kata dokter itu
harus dioperasi”
Awalnya aku mengira sakit ambien namun
itu bukan ambien, karena ia juga mempunyai ambien dan sudah melakukan terapi
karena takut dioperasi. Dan ia menceritakan proses operasi, karena ketika
dioperasi ia tidak dibius total. Ia malah risi ketika dokter yang mengoperasi
adalah dokter yang masih muda-muda.
Dan kejadian yang membuatku ngakak ketika
ia bercerita bahwa ambien yang selama ini ia derita juga turut dioperasi “Tau
nggak, Pak, aku kan juga punya ambien, lha pas operasi masak dokternya bilang
ke aku “Kenapa nggak bilang kalau punya ambien?” aku jawab aja, aku takut pak
kalau dioperasi, dan dokternya malah menjawab dengan enteng “Lha ini ambiennya sudah aku ambil”
“Padahal kan ambiennya tak eman-eman, eh malah dioperasi sekalian sama dokternya” aku yang mendengar
ceritanya pun malah menimpalinya dengan berkata “Mungkin kamu sebelumnya pilih
paket hemat, jadinya operasi benjolan itu bonus operasi ambien”
“Aku kan takut Pak, apalagi pas
suster klinik kita bilang kalau operasi ambien sakit banget, makanya beberapa
minggu kemaren aku sering terapi, biar nggak dioperasi, eh inih malah sekalian dioperasi, nggak tau apa ambiennya wes di man-eman”
***
Hampir setengah jam aku menjenguknya,
kemudian ada dokter yang hendak memeriksanya. Aku pun pamit pulang sambil
mendoakan agar segera diberi kesembuhan, dan sebelum aku benar-benar pergi
meninggalkan ruangannya, aku juga bercanda dengannya “Istirahat yang cukup ya,
dinikmati masa-masa magabut-nya (baca; makan gaji buta)” tentu itu aku ucapkan
dengan penuh becanda.