“Maaf Pak, boleh izin untuk
keluar kantor sebentar? Mau berobat ke Boyolali”
“Di poliklinik saja, mumpung
dokternya sedang visit thu”
“Nganu Pak, biasanya kalau saya
sedang greges-nggreges kaya gini obatnya ke Soto Segeer Mbok Giyem, terus
minumnya jeruk panas”
Begitu
kira-kira percakapan yang terjadi antara saya dengan manajer saya di sela-sela
waktu kerja. Meski dia atasan saya, namun tak jarang kami dan rekan kerja yang
lain saling melempar candaan untuk memecah keheningan serta kebosanan selama
menjalani rutinitas pekerjaan di kantor. Saya bekerja sebagai HRD di salah satu
perusahaan garment di Boyolali.
Boyolali adalah sebuah kota kecil
yang sudah tak asing bagi saya. Saya memiliki kerabat yang tinggal di kota susu
ini. Semasa kuliah dan ngekos di Solo dulu, setidaknya hampir sekali dalam
seminggu, atau paling tidak dua kali dalam sebulan saya berkunjung ke Boyolali.
Maklum, rumah asli saya yang terletak di Sukoharjo selalu sepi, jadi saya lebih
senang berkunjung dan menginap di rumah kerabat saya di sana. Bahkan, karena
saking seringnya berkunjung, saya sudah dianggap seperti anak mereka sendiri.
Dan sepertinya saya berjodoh dengan kota Boyolali, mengingat sudah lebih dari
satu tahun saya mencari nafkah di kota ini.
Boyolali yang terletak di barat
Solo ini, identik dengan kota susu. Selain tentu saja surganya bagi pecinta
kuliner. Untuk soal itu, Boyolali identik dengan soto-nya. Dan salah satu yang
paling terkenal adalah Soto Segeer Mbok Giyem, warung soto yang kini sudah
menyebar di mana-mana. Konon, brand Soto segeer Mbok Giyem,
kini sudah diwaralabakan, atau bahasa kerennya di-franchise-kan. Jadi,
tidak heran kini banyak bermunculan warung-warung soto yang menggunakan nama
Soto segeer Mbok Giyem.
Di liburan weekend ini,
saya tiba-tiba berkeinginan untuk mengunjungi warung soto itu. Apalagi kondisi
badan sudahnggreges-nggreges. Dan Soto Segeer Mbok Giyem yang
disajikan dalam keadaan panas, ditambah sedikit sambal, serta jeruk panas
sebagai minumannya, sepertinya menjadi resep yang tepat untuk kondisi badan
saya saat ini.
Di Boyolali ada dua warung Soto
Segeer Mbok Giyem yang dibuka oleh pemilik aslinya, yaitu yang berlokasi di Jl
Pandanaran no 27, dan di Jl Garuda. Kedua warung itu berjarak tak begitu jauh.
Tapi jangan salah, jika sudah memasuki jam makan siang, kedua warung Soto
Segeer Mbok Giyem akan selalu ramai dan sesak oleh pelanggan.
Tidak tahu kenapa, saya lebih
suka makan di warung Soto Segeer Mbok Giyem yang berlokasi di Jl. Garuda. Meski
tempatnya agak masuk; jika arah ke Semarang, sebelum pasar Sunggingan ada
pertigaan di depan Supermarket Galaxy ada gang ke kanan. Nanti akan ketemu
papan petunjuk arah: Soto Segeer Mbok Giyem kurang lebih 15 meter. Konon,
warung Soto yang berada di Jl. Garuda, adalah cikal bakal warung soto yang
semakin ramai itu.
Berganti nama menjadi
Soto Segeer Hj Fatimah
meski warung Soto Segeer Mbok
Giyem kini sudah banyak ditemukan, bagi saya, tidak puas jika tidak berkunjung
langsung ke Warung Soto Segeer milik keluarga Mbok Giyem ini. Ada pemandangan
aneh saat saya hendak memarkirkan sepeda motor tepat di parkiran depan warung
soto itu. Di depan warung, bukan hanya terlihat deretan motor yang terparkir,
di sepanjang jalan sekitar warung soto juga berjejer mobil dari para pelanggan.
Belakangan, nama Soto Segeer
Mbok Giyem kini sudah berganti, menjadi “Soto Segeer Hj Fatimah”. Saya yang
sudah penasaran sejak di kantor, tetap memutuskan masuk. Sekilas, tak ada yang
berubah sejak kali pertama saya berkunjung ke warung soto itu. Saya memesan
satu porsi soto daging sapi, dengan jeruk panas sebagai minumnya.
Hingga akhirnya saya menemukan
semacam pengumuman di beberapa sisi tembok. “Mohon Doa Restu Soto
Segeer Mbok Giyem Boyolali, Kami ganti dengan nama Soto Segeer Hj Fatimah
Boyolali, dengan pemilik yang sama, dan hanya membuka cabang, di Boyolali ada
dua warung, yaitu di Jl Pandanaran dan satunya lagi di Jl Garuda, kemudian di
Jl Bhayangkara Tipes – Solo,” begitulah kira-kira isi pengumumannya.
Ketiga warung yang dulunya bernama Soto Segeer Mbok Giyem itu kini berganti
dengan nama Soto Segeer Hj Fatimah.
Dalam ruangan, warung sudah
dipenuhi pelanggan. Saya agak kesulitan mencari tempat duduk. Beruntung, saya
masih mendapatkan tempat duduk di pojokan ketika salah satu pengunjung baru
saja selesai makan. Pelayan nampak sangat sibuk melayani pelanggan untuk
memastikan semua pesanan pelanggan sudah terpenuhi. Tidak menunggu lama, soto
daging sapi pesananku datang dalam keadaan masih mengepulkan asap panas. Selang
sebentar saja, jeruk panas pun juga sudah diantar ke meja saya.
Saya langsung mencicipnya:
apakah pergantian nama turut mengubah rasa soto itu. Kemudian saya aduk
sebentar soto dalam mangkuk kecil itu. Dan rasanya, Sempurna! Perubahan nama,
ternyata tidak membuat perubahan pada rasa. Nama boleh berubah, namun soal
rasa, tidak!
Saya menikmati semangkuk soto
panas dan sedikit pedas itu. Mengambil dua tempe mendoan sebagai pelengkap.
Kuah soto yang masih panas membuat tubuh saya langsung berkeringat. Apalagi
ditambah dengan segelas jeruk panas. Sungguh nikmat Tuhan mana lagi yang kau
dustakan. Badan yang awalnya nggreges-nggreges ini, kini segar
kembali ketika sudah bermandikan keringat. Usai makan, rasanya tak lengkap jika
tidak dipungkasi dengan satu batang rokok. Namun keinginan itu saya urungkan
saat melihat banyak orang di sekitar saya. Kepulan asap rokok, sepertinya akan
membuat suasana makan siang mereka akan sedikit terganggu, mengingat udara saat
itu juga lumayan panas.
* * *
Sebuah langkah berani diambil
oleh pemilik Soto Segeer Hj. Fatimah, yang dulu bernama Soto Segeer Mbok Giyem,
apalagi mengingat brand Soto Segeer Mbok Giyem sudah terkenal
ke mana-mana. Hingga nama Soto Segeer Mbok Giyem di-franchise-kan.
Ketika saya melacak lewat beberapa sumber atas alasan pergantian nama atau rebranding itu,
kabarnya itu adalah sebuah langkah penyegaran. Namun demikian, Hj Fatimah, si
pemilik warung soto yang baru ini sepertinya tahu betul, yang terpenting dalam
bisnis kuliner adalah soal rasa. Iya, rasa.
Note: Tulisan ini pernah dimuat di minumkopi.com dengan judul yang sama.