Sabtu kemarin, sebenarnya saya sudah
berencana untuk pulang sore harinya. Namun, sepulang kerja, saya masih
mempunyai PR yang harus saya selesaikan, yaitu pakaian segunung yang belum diseterika.
Maklum lah, saya masih bujang, jadi apa-apa masih sendiri, (yang ini curhat
banget, yaa J?)
Selesai menyeterika, sepertinya gaya
gratifikasi diatas kasur tiba-tiba
menjadi sangat besar dan membuat badan saya kelet
dengan kasur. Alhasil saya tertidur hingga menjelang buka puasa.
Ketika mata mulai terbuka, dan masih
dalam kondisi mengumpulkan nyawa, terdengar suara bahwa di luar sedang turun
hujan.
Hujan kala itu bukan hanya membuat
saya buka puasa seadanya, karena belum sempat membeli takjil untuk buka puasa. Namun, juga menunda kepulangan saya ke
Sukoharjo.
Sore itu, saya hanya buka puasa
dengan teh manis dan biskuit. Dan baru setelah sholat teraweh saya baru keluar
untuk makan malam di luar. Karena hujan tidak reda-reda, saya memutuskan untuk
membawa jas hujan untuk menuju angkringan milik Mas hik.
Sesampai di angkringan milik Mas hik,
nampaknya tak banyak pelanggan yang jajan. “Udan-udan
hawane, enake yo turu neng ngomah, rep metu jajan do males” Mas hik, nampak
sedikit sambat. Maklum, hujan deras membuat orang-orang betah di rumah dan
dagangan masih banyak.
Ketika saya baru datang, Mas hik
memberi saya takjil sisa buka puasanya tadi. Sambil menikmati takjil dari Mas
hik, saya memesan teh panas untuk menghangatkan badan saya yang sudah mulai
kedinginan karena hujan malam itu.
Hujan malam itu sangat awet, bahkan
saya mendengar kabar bahwa ada beberapa wilayah di Solo tergenang banjir akibat
meluapnya sungai bengawan Solo. Semoga airnya cepat surut, dan semua korban
dapat menghadapi cobaan di bulan puasa ini dengan istiqomah.
Hanya saya saja yang jajan di
angkringan milik Mas hik malam itu. Mas hik mencoba menghibur diri dan berusaha
untuk memaklumi, bahwa dagangannya malam itu masih banyak, karena tak banyak
yang jajan malam itu. “Diambil hikmahnya aja, Bos, mungkin Gusti
Allah pengen aku mulih risik terus istirahat gasik, wong dagang nek ndekaki
ramai ngasi bingung sik ngedoli, tapi nek lagi sepi yang piye meneh” ucap
Mas hik di tengah obrolan kami.
Semakin malam, udara menjadi semakin
dingin, malam itu saya yang hanya memakai celana pendek pun sudah tidak kuat lagi
dengan dinginnya malam itu. Saya pun pamit pulang, karena paginya saya harus
bangun untuk makan sahur, dan saya berencana pulang ke Sukoharjo.
Ada beberapa alasan kenapa saya harus
pulang pagi itu, meski sore harinya saya harus kembali lagi ke Boyolali. Salah
satunya, karena ibu dan kakak saya baru saja pulang dari Sumatera. Jadi, saya
berencana buka bersama dengan keluarga.
Beberapa hari yang lalu, saya pernah
mendapat kabar, bahwa ibu saya lebaran ini tidak akan pulang, karena lebih
memilih untuk lebaran di tanah rantau, yaitu di Jambi. Kemudian, kakak saya
yang saat itu posisinya sedang di Bengkulu, berencana untuk menjenguk Ibu.
Singkatnya, kunjungan kakak saya ke tempat Ibu, juga dalam rangka membujuk ibu
saya untuk pulang. Akhirnya bujukannya berhasil, Ibu dan kakak saya pulang
bersama-sama. Padahal, kakak saya baru sekitar dua bulan di Bengkulu, namun
demi bisa lebaran bersama keluarga besar, kakak saya barhasil membujuk Ibu saya
pulang.
Saya pulang pagi harinya, setelah
mencuci pakaian, saya mandi dan segera bergegas meski cuaca dari pagi sangat dingin,
karena sedari pagi awan nampak mendung. Hal itu tidak mengurangi niat saya
untuk pulang ke Sukoharjo.
Sesampai di Sukoharjo, saya langsung
bertemu dengan Ibu saya, kemudian mencium tangannya. Saya senang Ibu saya
sehat-sehat saja. Saya tahu betul Ibu saya. Beliau sangat membenci perjalanan,
karena beliau mabuk darat dan laut, padahal perjalanan dari Sumatera paling
tidak membutuhkan waktu tiga hari dua malam. Sedangkan kakak saya masih tidur.
Saya kemudian menyalakan televisi dan tidur-tiduran.
Banyak hal yang kami obrolkan bersama
dari siang hari hingga menjelang buka. Mulai dari keadaan di tanah rantau.
Kabar dari kerabat-kerabat yang ada di perantauan, kemudian cerita-cerita
menarik lainnya selama hidup di perantauan. Dan kala itu saya lebih sebagai
pendengar setia saja.
***
Adzan magrib mulai berkumandang dan
saling bersautan antara masjid yang satu dengan yang lain. Kemudian kami semua
mulai berbuka. Saya dan kakak saya sudah mempersiapkan kopi sebelumnya. Tentu
saya tidak langsung berbuka dengan kopi, namun saya membatalkan puasa denga
segelas air putih. Sebagai teman ngopi dan buka puasa sore itu, saya menikmati
cemilan-cemilan oleh-oleh dari Sumatera. Dan kopi yang saya minum kala itu pun
juga oleh-oleh dari sumatera.
Setelah berbuka dengan kopi beserta
cemilan, saya pun mengambil wudhu dan menjalankan ibadah sholat magrib. Dan
baru setelah sholat magrib saya mulai makan besar. Tak seperti biasanya, kala itu
saya sudah ingin langsung makan besar. Biasanya, saya makan besar setelah
sholat teraweh. Makan besar yang sederhana, hanya ada sambel, lalapan, sayur,
ikan bandeng, tempe dan tahu goreng, serta kerupuk. Saya sangat menikmati kesederhanaan
itu, bahkan saya minta tambah nasi.
Buka bersama kali ini lain, meski
dalam beberapa kesempatan saya lebih sering buka bersama di tempat kerja, yaitu
bareng dengan karyawan shift dua. Buka bersama kali ini saya di kelilingi oleh
orang-orang yang sangat peduli dengan saya.
Dan sepertinya, untuk kali pertama
semenjak beberapa tahun, lebaran tahun ini keluarga besar kami akan berkumpul
semua tanpa ada yang absen, karena Pak dhe yang berdomisili di Bengkulu pun
kabarnya minggu depan juga pulang ke Jawa.