“Mas Rizky, bangun, hari ini masuk apa?”
Suara Mak nyarmi membangunkan saya
yang terlambat bangun pagi kala itu. “Rizky” begitulah Mak nyarmi memanggil
nama saya. Padahal dari awal saya sudah mengenalkn diri saya dengan nama Riki.
Entah mengapa Mak nyarmi lebih sering memanggil nama saya dengan sebutan,
Rizky. Namun, saya tidak pernah mempermasalahkan itu.
Sekarang pertanyaannya adalah, siapa
itu Mak nyarmi? Mak nyarmi sekarang menjadi bagian dari orang yang hidup di
sekeliling saya. Beliau telah mengijinkan saya untuk menempati salah satu sudut
ruang rumahnya, untuk saya jadikan tempat singgah. Iya, saya memiliki kos yang
sangat sederhana. Ada beberapa alasan kenapa saya memilih hidup sebagai anak
kos, tapi itu akan saya coba ceritakan di lain kesempatan. Tapi saya tidak
janji lho ya.
Mak nyarmi adalah seorang yang sudah tidak
berusia muda lagi, usianya kira-kira seusia adik Simbah saya. Mak nyarmi sangat
sabar, ia nikah dua kali. Suaminya yang pertama meninggal dunia, dengan
meninggalkan tiga anak yang sudah berkeluarga semua. Anak laki-laki yang
pertama membuat rumah minimalis di dekat rumah Mak nyarmi, sedangkan anak laki-laki
yang kedua satu rumah dengan mak nyarmi. Kemudian anak terakhirnya, tinggal
bersama suaminya. Mak nyarmi juga dititipi keponakan yang menempati salah satu
kamar di rumahnya.
Mak Nyarmi adalah orang yang sabar,
ia sangat sayang dengan cucu-cucunya. Kesabarannya menghadapi segala polah dan
kenakalan cucu-cucunya ia tangani dengan hangat. Mak nyarmi memiliki keahlian
dalam memijat bayi, jadi tidak heran Mak nyarmi memiliki kesabaran yang luar
biasa. Tangannya begitu halus dan lihai dalam memijat bayi. Selama saya tinggal
di sana, suara tangisan bayi menjadi sangat akrab di telinga saya.
Hampir sholat lima waktu ia tunaikan
secara berjamaah di masjid yang letaknya hanya di seberang rumahnya. Sholat
tahajud dan dhuha tak pernah lupa ia jalankan. Bahkan terkadang saya sering
diingatkan agar saya bisa sholat berjamaah juga.
Mak nyarmi pernah mengalami sakit dan harus di
rawat di rumah sakit. Kala itu banyak orang dengan menggendong bayi harus
menelan kekecewaan karena Mak nyarmi selama sakit harus banyak beristirahat,
dan untuk sementara waktu tidak melayani pijat bayi.
Mak nyarmi juga pernah bercerita
terbuka kepada saya. bahwa ia sudah menikah lagi, namun karena tidak tega
meninggalkan cucu-cucunya, ia memilih hidup di rumahnya sendiri dan sesekali
berkunjung ke tempat suaminya.
Beberapa hari yang lalu, suami dari
pernikahan kedua Mak nyarmi mengalami kecelakaan dan Mak nyarmi pun menemaninya
di rumah sakit. Dan setelah keluar dari rumah sakit, justru suami Mak nyarmi
terkena stroke. Jadilah sekarang Mak nyarmi memutuskan untuk tinggal di rumah
suaminya untuk merawatnya. Mak nyarmi tahu betul, bahwa sudah menjadi kewajibannya
untuk merawat suami yang sedang sakit, apalagi sakitnya stroke, tentu
membutuhkan orang yang merawat dan menjaganya.
Di saat seperti itulah Mak nyarmi
mengambil sebuah pilihan. Baginya sudah menjadi kewajiban seorang istri untuk
merawat suaminya yang sedang sakit. Maka untuk beberapa hari ini, merawat suami
menjadi prioritasnya. Kemudian mengabarkan kepada orangtua yang mau memijatkan
anaknya agar pijat pas hari sabtu dan minggu. Dalam seminggu hari sabtu dan
minggu, Mak nyarmi pulang ke rumahnya, memijat bayi-bayi yang sudah lama
menjadi pasiennya, sedikit mengurus rumah yang menjadi berantakan karena bisa
dibilang tanpa Mak nyarmi rumah menjadi semakin tidak terurus.
Saya belajar dari Mak nyarmi tentang
sebuah kewajiban. Bagaimana Mak nyarmi bisa mengatur waktunya, untuk merawat
suaminya, kemudian tetap menjalankan apa yang menjadikan keahliannya, yaitu
memijat bayi. Bertemu dengan anak kecil, kemudian memijatnya mungkin adalah
kebahagian tersendiri bagi Mak nyarmi. Dan saya selalu dengar, ketika tangannya
sedang memijat, Mak nyarmi selalu mendoakan bayi-bayi yang ia pijat agar
menjadi anak yang sholeh/sholehah “Semoga
cepat sehat, jadi anak yang sholeh/sholehah ya le/nduk”