Saya sudah menyiapkan secangkir kopi
hitam di meja, sebelum saya memulai tulisan ini. eh bentar, saya sruput dulu
kopinya, nanti malah keburu dingin
Okey, kita awali tulisan kali ini
dengan sebuah topik yang sedang ramai dibicarakan oleh banyak kalangan. Apalagi
kalau bukan soal rokok.
Beberapa hari yang lalu sempat gempar
dan ramai di media sosial tentang isu harga rokok yang (katanya) akan naik
menjadi 50rb perbungkusnya. Sebenarnya saya sudah menahan diri untuk tidak ikut
nimbrung dalam isu tersebut. Namun, semakin saya tahan, justru keinginan untuk
ikut nyebur dalam kubangan wacana
rokok menjadi semakin kuat. Hampir sama lah, seperti rasa cinta ini kepadamu,
Dek, semakin saya mencoba untuk menahan gejolak cinta ini, namun justru semakin
tak kuasa untuk menahan gelora asmara ini. *lebay
yo ben :p
Isu rokok yang katanya akan naik
menjadi 50rb perbungkus bulan depan, adalah wacana yang muncul dari sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Kepala pusat kajian ekonomi dan kebijakan
kesehatan, fakultas kesehatan masyarakat UI. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Hasbullah Thabrany dan timnya, dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa jumlah
perokok akan berkurang jika rokok di naikan dua kali lipatnya, dan kebanyakan
perokok akan berhenti merokok jika harga rokok 50rb perbungkusnya.
Hasil penelitian itulah yang dilempar
ke media, kemudian tanpa perlu di-gocek terlebih dahulu hasil penelitian
tersebut seperti umpan manis yang diberikan kepada orang-orang antirokok dan
dimanfaatkan dengan baik dengan dilempar ke media dan seolah-olah menjadi
sebuah wacana.
saya sendiri belum menemukan
pernyataan resmi dari pemerintah menanggapi isu tersebut. Yang saya temukan
adalah mereka yang tidak kompeten dalam bidang ini dan turut memberikan
pernyataan tentang menanggapi isu kenaikan harga rokok menjadi 50rb
perbungkusnya. Bahkan foto hoax tentang harga rokok di minimarket pun sudah
jadi viral.
Media sosial terbelah menjadi dua
kubu. Kubu perokok yang masih asyik sebal-sebul menikmati rokok favoritnya
untuk menemai secangkir kopi hitam. Kubu antirokok yang menurut saya sedikit
“berisik” dalam merespon isu ini.
Menurut saya, kubu antirokok
cinderung membabi buta dalam menelaah berita. Seperti terkesan hanya membaca
judul artikel kemudian membagikan artikel tersebut melalui akun media
sosialnya, tentu dengan ditambahi komentar nyinyirnya. Dalam menanggapi isu
ini, saya justru tertarik dengan kubu prorokok. Mereka tetap kalem, kemudian
menganalisa dengan baik motif dibalik kampanye antirokok. Dan saya banyak
membaca esay tentang motif dibalik kampanye antitembakau, yang ternyata ada
modal besar dibaliknya.
Kubu antirokok biasanya menggunakan
dalih-dalih dari hasil penelitian tentang bahaya merokok. Mereka menganggap
bahwa rokok adalah candu dan sangat berisiko terhadap kesehatan. Rokok
menyebabkan penyakit kanker, impotensi dan gangguan kehamilan sudah tertulis
besar di bungkus-bungkus rokok. Bukan hanya tulisan, gambar-gambar seram dengan
tulisan merokok membunuhmu pun kini juga terdapat dibungkus-bungkus rokok.
Saya tidak pernah berpihak pada salah
satu kubu, karena mereka semua memiliki pandangan masing-masing. Dan dalam hal
ini saya hanya sebagai penonton saja. Sebagai penonton saya justru seperti sedang
membandingkan antara argumen dari kubu satu dengan kubu yang satunya lagi. Dan
secara pribadi saya lebih suka argumen-argumen yang prorokok. Argumen mereka
sangat mendalam. Mereka bukan hanya saja mengangkat isu tentang dibalik
kampanye antirokok yang dibelakangnya ada modal besar yang menyokongnya.
Kemudian mereka juga membuat sanggahan tentang dampak bagi kesehatan. Pernah
saya membaca bahwa rokok kretek justru bermanfaat bagi kesehatan. Kalau selo
silakan melihat juga video di youtube yang berjudul “mereka yang melampaui
waktu” bahkan ada juga buku cetaknya dengan judul yang sama. Betapa mereka
tetap sehat di usia senja padahal merokok sudah menjadi bagian dari hidup
mereka.
Membaca tulisan saya ini, bisa
dipastikan kalian akan menuduh saya adalah orang yang prorokok. Tapi ya memang
sih :p,
Jujur saya pernah merokok, karena bohong besar jika saya mengatakan bahwa saya tidak pernah
merokok. Saya merokok di saat saya masih masa puber, kalau tidak salah, saat
saya masih SMP. Perkenalan dengan rokok, karena saya memiliki simbah seorang
perokok. Rokok simbah saya adalah rokok linting
dewe. Simbah saya seperti sudah memiliki tembakau favorit, kemudian meracik
sendiri rokoknya dengan cengkeh serta menggulungnya dengan kertas cigarette.
Kertas itu memiliki rasa manis, dulu waktu saya masih kecil sering mencuri
kertas itu dan melumatnya hingga klomoh.
Sesuai dengan teori psikologi yang
pernah saya pelajari, bahwa perilaku seseorang bisa terjadi karena meniru
perilaku orang lain, bahasa kerennya observational
learning. Kemudian saya (belajar) merokok, namun bukan menggunakan rokok,
namun dengan batang pohon (kalau tidak salah dari pohon gembili) kemudian
menyulutnya dengan api dan menghisapnya seolah saya sedang merokok sungguhan.
Kemudian saya mulai penasaran dengan
rokok beneran. Namun, saya tidak menemukan kenikmatan dalam rokok itu sendiri. Kemudian
saya benar-benar jauh dari rokok. Saya berteman dengan siapa saja, termasuk
mereka yang perokok berat, bagi saya itu tidak masalah.
Setelah dewasa saya mulai merokok
lagi, meski bisa dikatakan sangat jarang. Saya merokok karena alasan yang
menurut saya diluar logika. Pernah suatu ketika saya merasa ada beban
psikologis, dan dalam keadaan itulah saya ditawari rokok oleh kawan saya, dia
berkata kepada saya ”ada kalanya, ada
beban yang harus diurai bersama asap rokok” Dan benar, rokok itulah yang
membuat saya dan kawan saya menjadi lebih terbuka. Saya tidak tahu dampak
psikologis apa yang ada dalam rokok itu. Atau bisa jadi saya justru sudah
tersugesti oleh kawan saya tadi. Mungkin.
Dan akhir-akhir ini saya merokok pun
bisa dihitung dengan jari, dalam sebulan mungkin saya satu kali dan itu pun
tidak pernah saya habiskan, seperti yang saya lakukan ketika buka bersama
dengan kawan-kawan kuliah, saya juga mengambil satu batang rokok dari kawan
saya. Dan lagi-lagi saya tidak habis dan membuangnya. Dan sebenarnya orang yang patut di salahkan itu ya orang macam kaya saya ini, merokok tapi tidak dihabiskan. Karena dari segi
antirokok, merokok saja itu sudah salah. Kemudian bagi prorokok, salah juga,
karena merokok kok tidak dihabiskan, urip kok nanggung men.
Salahkan saya saja!