Pagi-pagi, rumah Mbah sudah kedatangan tamu. Saya yang masih njingkrung di atas kasur, karena
malamnya saya pulang jam satu pagi, sehabis sholat shubuh saya memutuskan untuk
bersembunyi di belakang selimut lagi.
Tamu tersebut adalah tetangga saya. Dan untuk kesekian
kalinya, tetangga saya mengeluhkan kenakalan kucing kampung piaraan Mbah saya.
Sebenarnya Mbah memiliki beberapa hewan piaraan. Dan semua piaraan Mbah
memiliki sejarah yang berbeda-beda. Sudah sejak saya masih kecil Mbah sudah berternak ayam. Dan sempat tidak berternak lagi karena adanya wabah flu burung.
Kemudian beberapa tahun ini mulai Mbah mulai berternak ayam lagi.
Meski kami memiliki banyak ayam kampung, namun Mbah sangat
jarang menyembelih ayam-ayamnya hanya sekedar untuk dijadikan lauk. Paling cuma
beberapa butir telurnya saja yang diambil, dan sisanya segaja ditetaskan untuk
memperbanyak keturunan. Mungkin Mbah adalah orang yang penyayang, meski menurut
kebanyakan orang menilainya sebagai pribadi yang galak. Namun, bagi saya Mbah
adalah orang memegang teguh sebuah prinsip.
Kenapa saya bisa mengatakan Mbah adalah orang yang penyayang.
Tentu hal ini bukan karena saya adalah salah satu cucu kesayangannya. Namun,
untuk perkara remeh saja, ia tidak mau melakukannya. Seperti menyembelih
ayam-ayam ternaknya. Kebanyakan ayam yang sudah beranjak dewasa ia jual. Kalau
pengen makan ayam, mending beli saja yang sudah matang, plus sudah ada sambal
mentah plus lalapannya.
Entahlah, karena saking sayangnya dengan hewan-hewan ternaknya,
hingga menyembelih dan memakan ayam ternaknya saja ia seakan tidak tega. Karena
ayam-ayam itulah yang setiap saat ia beri makan. Dan di beberapa kesempatan
saya disuruh membeli bekatul untuk persedian makan ayam-ayamnya.
Selain ayam, masih ada dua burung piaraan, dan kucing
tentunya. Untuk dua burung piaraannya, semuanya memiliki sejarahnya
masing-masing. Seekor burung kuter yang saya kira Mbah sudah mempercayakan
segala perasaannya kepada burung tersebut. Karena pernah suatu hari, ketika
burung kuternya tidak mau “manggung” ia pernah berucap kepada saya “Kuter e kok gak manggung, cobo kowe takok
kabar podo sehat kabeh opo ora” saya pun hanya mengiyakan perintah dari
Mbah saya tersebut.
Burung kuter itu pemberian almarhum Mbah buyut, sengaja
diberikan kepada simbah, karena di samping perawatannya mudah, juga bisa
digunakan sebagai “rungon-rungon” ketika “manggung”.
Selain burung kuter, ada burung jalak. Burung jalak itu saya
beri nama Jali (Jalak Item) karena memang jalak itu berwarna hitam. Jalak itu
didapat melalui drama penyelamatan yang heroik. Ketika itu, ada jalak yang
terbang rendah, kemudian Ibu saya mampu menangkapnya. Dan oleh Pak Dhe
dibelikan kandang dan jadilah sebagai piaraan. Awalnya Jalak itu mengalami luka
pada kedua kakinya. Hingga saat ini masih terlihat jelas cacat di salah satu
kakinya. Namun tak apa, karena di beberapa kesempatan ia seakan pamer dengan
mengeluarkan suara merdunya. Jali sempat ingin dibeli tetangga, namun Mbah
langsung menolak penawaran dari tetangga tersebut.
Dan, pernah juga ketika saya masih sibuk kerja, tiba-tiba
orang rumah telpon. Karena saya sudah menyarankan agar menelpon saya dalam
kondisi penting saja, karena untuk hal yang tidak penting lebih saya sarankan
untuk mengirim pesan sms saja. Waktu saya angkat telpon, saya seperti
menyiapkan psikologis saya untuk mendengarkan kabar buruk. Tapi ternyata, orang
rumah menelpon saya karena makanan si Jali habis. Kemudian saya berpikir, “Sejak kapan urusan makanan si jali menjadi
sesuatu yang urgent?”
Dan piaraan yang lain lagi adalah kucing kampung yang pagi-pagi
sudah dikomplain oleh tetangga saya. Dulu saya sangat mewanti-wanti agar tidak
memlihara kucing. Karena jujur saya agak-gimana- gitu sama kucing. Namun,
ketika ada saudara simbah yang kebetulan pindah ke Jambi ikut anak-anaknya,
entah kenapa kucing milik saudara simbah itu justru dititipkan dan menjadi
bagian dari rumah Mbah. Jadilah rumah Mbah kehadiran anggota baru, yaitu seekor
kucing, yang kini sudah kesekian kalinya beranak. Setiap kali beranak,
kucing-kucing itu pasti dibuang, kalau tidak itu, tahu-tahu anak-anak kucing
itu sudah tidak ada.
Saat ini kucing di rumah Mbah ada dua. Satu kucing sudah tua,
yaitu kucing yang dulu dititipkan. Satu kucing merupakan kucing anak yang sudah
kesekian kalinya. Dan anak kucing itulah yang menjadi satu-satunya kucing
nakal. Kucing itu seakan menjadi seorang anak yang hobi jail dan iseng dengan
anak tetangga lain. Karena kucing ini benar-benar suka iseng dengan piaraan
tetangga. Seperti memangsa anak ayam tetangga seperti yang dikeluhkan oleh beberapa
tetangga saya.
Saya pernah berusaha untuk menangkap dan memasukan ke dalam
karung. Namun, kucing itu justru berontak, dan berusaha melawan, dan mempu
menyelamatkan diri.
Ketika banyak tetangga yang mengeluhkan kenakalan kucing Mbah
saya. Di saat seperti itulah kami juga tidak tahu harus berbuat apa. Karena
kami juga turut pasrah ketika kucing nakal itu juga turut memangsa anak ayam
milik juragannya sendiri, yaitu Mbah saya.
Dan mbah saya pun juga mengadakan semacam sayembara. Mbah
juga jengkel dengan perilaku kucing miliknya. Siapa pun yang jengkel silakan
diperkenankan untuk menghakimi kucing tersebut. Meski berkata begitu, siapa
yang tahu isi hati Mbah. Tega kah Mbah melakukan penghakiman dengan kucing
piaraannya tersebut.
Entah lah, karena yang jelas, hanya menyembelih ayam-ayam piaraannya untuk
dijadikan lauk saja, ia seperti tidak tega.