![]() |
Ilustrasi |
Ada sesuatu yang menempel di pintu kulkas. Waktu saya amati baik-baik, secarik kertas itu berisi semacam aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan yang tidak asing lagi bagi saya. Tuisan yang ditulis oleh seorang bocah kelas 3 SD. Iya, dia adalah adik keponakan saya.
Saya tidak membaca hingga habis
kertas yang berisi aturan-aturan itu. Sekilas saya membaca, ada sebuah aturan yang
jika dilanggar maka akan didenda 10rb. Misalnya, jika makan tidak di meja
makan, maka akan diberlakukan denda 10rb. Jika sudah bersalah tapi malah
protes, maka didenda lagi 20rb.
Aturan denda tersebut justru menjadi
semacam alat untuk saling mengingatkan satu sama lain. Karena aturan tersebut
dibuat atas dasar kesepakatan bersama, dan berlaku untuk semua anggota yang
berada di bawah atap rumah tersebut. ”Hey,
nanti kena denda lho” begitulah kira-kira satu sama lain ketika saling
mengingatkan.
Dan konon semua harus sportif, karena
hasil uang denda ketika sudah berkumpul banyak, bisa digunakan untuk
makan-makan di luar, atau piknik mungkin.
Di dalam pertemanan saya, system
denda-denda gitu juga pernah saya coba berlakukan ketika sedang bersama
teman-teman saya. Misalnya ketika sedang berkumpul di luar, maka kami akan
membuat semacam kesepakatan. “Barang
siapa yang membahas masalah pekerjaan, hukumnya bayarin makan hari itu”
Alasan teman-teman saya, menyepakati
hal itu, karena dalam sehari kita sudah bekerja selama 8 jam. Masak iya, harus
kita tambahi lagi untuk membicarakan hal itu. Biasanya panjul akan nyeletuk, “Lebih baik membicarakan masalah wanita
daripada membicarakan masalah gawean, 8jam sehari sudah membicarakan masalah
target, kapan aku mbahas target nikah?”
Mungkin awal-awalnya akan terasa
sulit, namun lama-kelamaan hal itu akan berjalan dengan sendirinya. Apalagi
sudah ada yang menjadi korban, meski hanya mbayari di tempat wedangan.
Di lingkungan teman-teman kerja saya,
saya kesulitan untuk menerapkan aturan denda jika membahas masalah pekerjaan.
Alasan mereka, “Ora gayeng nek nongkrong
ora mbahas gawean”
Setiap orang memiliki tipikal
sendiri-sendiri. Saya tidak bisa memaksakan untuk menerapkan aturan tersebut.
Karena ketika mereka membahas pekerjaan dengan cengengesan seolah sedang
menertawakan masalahnya sendiri. Di saat seperti itulah, saya merasa aman,
karena mereka tahu bagaimana caranya agar tetap dalam kondisi waras, di tengah
tuntutan pekerjaan. Caranya ya itu tadi, membicarakan segala masalah pekerjaan
dengan cengengesan seolah sedang
menertawakan segala masalah mereka.
Dan semalam, saya lupa bahwa aturan
denda ketika membahas pekerjaan, juga kami berlakukan di dalam segala
percakapan di media sosial. Karena saya khilaf dan malah mbahas masalah pekerjaan di percakapan wasap. Dan saya harus
menerima dengan legowo, ketika harus
di denda. Bahkan saya keceplosan dua kali ketika bertanya atau memancing
masalah pekerjaan. Jadi saya punya hutang 20rb, hanya karena masalah sepele. Mbahas masalah pekerjaan.
Dalam hati, “Ini aturan yang buat aku sendiri kok, malah aku yang kena denda”